Tampilkan postingan dengan label Birrulwalidain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Birrulwalidain. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Juni 2015

"Ibu, Pendidik Pertama dan Terbaik"

"Ibu, Pendidik Pertama dan Terbaik"




Begitu besar peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa ibu adalah madrasah yang pertama. Seorang Kartini pun mengakui hal itu, yang diutarakan lewat sebuah surat kepada Prof. Anton dan istrinya : “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Sabtu, 23 Mei 2015

"Akibat Melukai Hati Ibu"

"Akibat Melukai Hati Ibu"



 
Memang sudah lazimnya selepas sholat Idul Fitri, kita saling bermaaf-maafan agar menjadi pribadi yang fitrah layaknya seorang bayi yang baru lahir. Begitu pula dengan keluarga kami. Setelah selesai melaksanakan Shalat Id berjamaah, keluarga besar kami berkumpul di rumah. Ibuku adalah anak tertua dari 6 bersaudara. Sudah kaprahnya bila yang muda berkunjung ke rumah yang tua. Maka adik-adik ibu pun memboyong keluarganya untuk berkumpul di rumah kami.

Setelah bermaaf-maafan satu sama lainnya, kamipun makan ketupat bersama. Orang Minang memang sangat suka makan dengan dikuahi santan. Makanya aku dan ibu membuat gulai sayur paku dengan  santan yang cukup banyak. Ternyata itu tidak cukup, ketupat masih  saja tersisa. Saat itu, ibuku sedang melayani karib kerabat yang berdatangan. Kebetulan di dapur hanya aku dan bibi, maka aku menyarankan pada bibi untuk membuat gulai kembali. Namun bibiku mengatakan “Alah tu, liok bana urang beko” (“Sudah tu, bosan orang nanti”). Aku tidak kehilangan akal, segera aku membeli kuah sate yang tidak jauh dijual dari rumah kami.

Ketika aku pulang membawa kuah sate yang lumayan banyak, ibu pun memarahiku. Aku dikatakan sebagai “padusi palala” (wanita yang suka bepergian) oleh ibu. Ibu juga memarahiku karena malas membuat gulai dan mencari kesempatan untuk bepergian. Lantas, aku mengatakan pada ibu bahwa kuah sate yang aku beli supaya ketupat-ketupat yang bersisa tidak mubadzir. Namun ibu tetap saja memarahiku, aku dimaki-maki dengan perkataan yang cukup kasar. Mendengar  semua perkataan ibu, air mtaku langsung berjatuhan. Segera aku berlari menuju kamar dan membanting pintu dengan keras.