"Keluh-Kesah"
Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan susah payah. Tengoklah ke kanan dan ke kiri, kita tidak melihat, kecuali orang-orang yang mengalami musibah, dan tidak menyaksikan, kecuali orang-orang yang sedang mengeluh kesakitan. Itu jika kita melihat dari sisi amat negatif.
Mengadu (lah hanya) kepada Allah..
“Sesungguhnya manusia diciptakan sukanya berkeluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan, apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat.” (QS al-Ma’arij/70: 19-22).
Dunia ini penuh orang-orang yang menunggu kedatangan orang lain yang mau memberi mereka dorongan untuk menjadi sosok seperti diinginkan. Kenyataannya, hampir tidak ada seorang pun yang akan datang menolongnya.
Orang-orang ini seperti menanti bus di jalan yang tidak dilalui bus. Jika mereka tidak bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan memaksa diri sendiri, mereka akan menunggu selamanya. Sesungguhnya, dunia ini banyak bebannya, kelam penampilannya, dan dipenuhi keluhan.
Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan susah payah. Tengoklah ke kanan dan ke kiri, kita tidak melihat, kecuali orang-orang yang mengalami musibah, dan tidak menyaksikan, kecuali orang-orang yang sedang mengeluh kesakitan. Itu jika kita melihat dari sisi amat negatif.
Seorang pedagang, ketika dagangannya sepi, bertemu siapa saja ia mengeluh tidak mendapat pemasukan, harus membayar utang, cicilan, dan apalah namanya.
Namun, saat dagangannya tengah laris manis, kini mengeluh seluruh badannya terasa capek, tak sebanding dengan hasilnya. Cicilan pun kurang.
Seorang pegawai, saat tidak ada pekerjaan, ia mengeluh bosan, jenuh, dan tidak produktif. Tetapi, saat pekerjaan menumpuk, kini mengeluh tidak memiliki waktu untuk istirahat. Seolah ia menjadi orang yang paling sibuk di kantor.
Seorang penganggur, ketika belum mendapat pekerjaan, mengeluh bahwa dunia ini tidak adil, negara gagal menyejahterakan rakyatnya, dan lain-lain. Ketika mendapat pekerjaan, mengeluh bahwa pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
Seseorang yang belum memiliki rumah mengeluh hidupnya masih terasa kurang karena tinggal di kontrakan, tinggal bersama orang tua yang membuat dirinya tidak bebas, bahkan ada yang mengatakan hidupnya jadi tidak nyaman karena hadirnya orang tua. Naudzubillah.
Namun, ketika memiliki rumah, mengeluh rumahnya terlalu sempit. Belum sempat bersyukur, berangan-angan rumah lebih besar.
Seseorang yang belum menikah, mengeluh dirinya manusia paling tidak beruntung sambil menuduh seolah Allah menjauhkannya dari jodoh. Ketika sudah menikah, mengeluh waktu senggangnya hilang, tidak bisa berleha-leha lagi. Mengeluhkan perilaku pasangannya yang ternyata tidak sesuai.
Seseorang yang belum dikaruniai anak, mengeluh rumah tangganya belum lengkap tanpa kehadiran anak. Namun, ketika diberi amanah anak oleh Allah, mengeluh anaknya sulit diatur dan bandel, merepotkan, tidak bisa dididik, dan selalu membuat masalah.
Tentu masih banyak lagi lainnya yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sebagai gambaran bahwa manusia itu sifatnya senantiasa berkeluh kesah dan susah bersyukur. Lalu, pertanyaannya, apakah kita tidak boleh mengeluh?
Tentu saja boleh, bahkan sangat dianjurkan. Bukankah Allah sudah menegaskan, manusia diciptakan bersifat gemar berkeluh kesah. Yang harus dihindari adalah jangan berkeluh kesah kepada makhluk (sesama manusia).
Tapi, berkeluh kesahlah kepada Allah saja. Konselingnya langsung kepada Allah. Kalau kita konseling ke manusia sangat terbatas waktunya. Tidak bisa setiap hari. Paling cepat sebulan sekali. Itu pun terkadang bukannya menyejukkan hati, malah sakit hati.
Mulai sekarang langsung saja konseling kepada Allah. Sebab, Allah menyediakan waktu yang tak terbatas kepada kita, setidaknya dalam lima waktu shalat. Allah hadir mendengarkan keluh kesah kita. Jika kurang, mengadulah di ujung malam dan di permulaan pagi.
Selalu ada waktu bagi Allah untuk mendengarkan keluhan kita hingga akhirnya pertolongan-Nya pasti datang. Kepada manusia cukup sebagai tempat berbagi saja, jangan mengeluh. Tidak lebih, tidak kurang.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fauz (Artikel ini berjudul asli "Mengadu Kepada Allah")
Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan susah payah. Tengoklah ke kanan dan ke kiri, kita tidak melihat, kecuali orang-orang yang mengalami musibah, dan tidak menyaksikan, kecuali orang-orang yang sedang mengeluh kesakitan. Itu jika kita melihat dari sisi amat negatif.
Mengadu (lah hanya) kepada Allah..
“Sesungguhnya manusia diciptakan sukanya berkeluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan, apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. Kecuali, orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat.” (QS al-Ma’arij/70: 19-22).
Dunia ini penuh orang-orang yang menunggu kedatangan orang lain yang mau memberi mereka dorongan untuk menjadi sosok seperti diinginkan. Kenyataannya, hampir tidak ada seorang pun yang akan datang menolongnya.
Orang-orang ini seperti menanti bus di jalan yang tidak dilalui bus. Jika mereka tidak bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan memaksa diri sendiri, mereka akan menunggu selamanya. Sesungguhnya, dunia ini banyak bebannya, kelam penampilannya, dan dipenuhi keluhan.
Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan susah payah. Tengoklah ke kanan dan ke kiri, kita tidak melihat, kecuali orang-orang yang mengalami musibah, dan tidak menyaksikan, kecuali orang-orang yang sedang mengeluh kesakitan. Itu jika kita melihat dari sisi amat negatif.
Seorang pedagang, ketika dagangannya sepi, bertemu siapa saja ia mengeluh tidak mendapat pemasukan, harus membayar utang, cicilan, dan apalah namanya.
Namun, saat dagangannya tengah laris manis, kini mengeluh seluruh badannya terasa capek, tak sebanding dengan hasilnya. Cicilan pun kurang.
Seorang pegawai, saat tidak ada pekerjaan, ia mengeluh bosan, jenuh, dan tidak produktif. Tetapi, saat pekerjaan menumpuk, kini mengeluh tidak memiliki waktu untuk istirahat. Seolah ia menjadi orang yang paling sibuk di kantor.
Seorang penganggur, ketika belum mendapat pekerjaan, mengeluh bahwa dunia ini tidak adil, negara gagal menyejahterakan rakyatnya, dan lain-lain. Ketika mendapat pekerjaan, mengeluh bahwa pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diinginkannya.
Seseorang yang belum memiliki rumah mengeluh hidupnya masih terasa kurang karena tinggal di kontrakan, tinggal bersama orang tua yang membuat dirinya tidak bebas, bahkan ada yang mengatakan hidupnya jadi tidak nyaman karena hadirnya orang tua. Naudzubillah.
Namun, ketika memiliki rumah, mengeluh rumahnya terlalu sempit. Belum sempat bersyukur, berangan-angan rumah lebih besar.
Seseorang yang belum menikah, mengeluh dirinya manusia paling tidak beruntung sambil menuduh seolah Allah menjauhkannya dari jodoh. Ketika sudah menikah, mengeluh waktu senggangnya hilang, tidak bisa berleha-leha lagi. Mengeluhkan perilaku pasangannya yang ternyata tidak sesuai.
Seseorang yang belum dikaruniai anak, mengeluh rumah tangganya belum lengkap tanpa kehadiran anak. Namun, ketika diberi amanah anak oleh Allah, mengeluh anaknya sulit diatur dan bandel, merepotkan, tidak bisa dididik, dan selalu membuat masalah.
Tentu masih banyak lagi lainnya yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sebagai gambaran bahwa manusia itu sifatnya senantiasa berkeluh kesah dan susah bersyukur. Lalu, pertanyaannya, apakah kita tidak boleh mengeluh?
Tentu saja boleh, bahkan sangat dianjurkan. Bukankah Allah sudah menegaskan, manusia diciptakan bersifat gemar berkeluh kesah. Yang harus dihindari adalah jangan berkeluh kesah kepada makhluk (sesama manusia).
Tapi, berkeluh kesahlah kepada Allah saja. Konselingnya langsung kepada Allah. Kalau kita konseling ke manusia sangat terbatas waktunya. Tidak bisa setiap hari. Paling cepat sebulan sekali. Itu pun terkadang bukannya menyejukkan hati, malah sakit hati.
Mulai sekarang langsung saja konseling kepada Allah. Sebab, Allah menyediakan waktu yang tak terbatas kepada kita, setidaknya dalam lima waktu shalat. Allah hadir mendengarkan keluh kesah kita. Jika kurang, mengadulah di ujung malam dan di permulaan pagi.
Selalu ada waktu bagi Allah untuk mendengarkan keluhan kita hingga akhirnya pertolongan-Nya pasti datang. Kepada manusia cukup sebagai tempat berbagi saja, jangan mengeluh. Tidak lebih, tidak kurang.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fauz (Artikel ini berjudul asli "Mengadu Kepada Allah")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar