Selasa, 17 Februari 2015

"Ilusi Kesejahteraan"

"Ilusi Kesejahteraan Sistem Kapitalisme"




Kondisi seperti ini sebenarnya memang buah dari penerapan Sistem Ekonomi Kapitalis, yang ditegakkan atas dasar kebebasan individu. Bahkan pemerintah juga tidak punya kewenangan untuk turut mencampuri dan melakukan intervensi pasar. Sistem kapitalis mengandalkan pada teori invisible hand (ada kekuatan tersembunyi) yang akan mengatur pasar, sehingga menjadi wajar, jika terjadi kebebasan menguasai, bahkan mengeksploitasi kekayaan dan sumber daya alam.

Parlemen dan penguasa hasil Pemilu selama ini membuat harapan dan cita-cita umat terasa makin jauh dari kesejahteraan. Dari parlemen dan penguasa pilihan rakyat itu banyak melahirkan peraturan perundangan yang justeru merugikan rakyat.

Melalui mereka juga, kepentingan asing masuk. Merekalah pelaku korupsi yang paling ganas di negeri ini. Mereka pula yang telah menjual aset berharga milik negara dan rakyat. Bukankah mereka yang menjual Indosat dan BUMN-BUMN lainnya, menjual murah bank-bank yang diselamatkan dengan ratusan triliun uang rakyat, dan lainnya. Bukankah mereka yang memberikan kontrak kepada Freeport, Newmont dan swasta asing lainnya untuk menjarah tambang yang sejatinya adalah milik rakyat. Bukankah penguasa pilihan rakyat hasil Pemilu jugalah yang menyerahkan blok kaya minyak kepada Exxon Mobil, blok kaya migas kepada Total, serta menyerahkan dan memperpanjang kontrak BP untuk mengeruk gas Tangguh. Benar, mereka semua adalah parlemen dan penguasa hasil Pemilu.

Parlemen dan penguasa hasil pemilu nyatanya telah menghasilkan berbagai undang-undang yang merugikan rakyat dan membuka pintu bagi asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Sejak 1967, DPR dan pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang menjadi pintu masuk cengkeraman asing atas negeri ini.

Undang Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) nomor 1 tahun 1967, bahkan sengaja disahkan agar PT Freeport bisa segera mengeksploitasi emas milik rakyat. DPR hasil Pemilu paska reformasipun menghasilkan undang-undang yang makin menyempurnakan jalan penguasaan asing itu, seperti Undang Undang Penanaman Modal, Perbankan, Minerba, Migas, Kelistirikan, Sumber Daya Air, dan lainnya.

Hasilnya, kini dominasi asing makin kuat mencengkeram sektor-sektor strategis. Sekadar contoh, menurut catatan Kompas per Maret 2011, pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Pada BUMN, dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing.

Untuk urusan kesejahteraan, meskipun APBN bertambah tiap tahun, tapi tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan yang nyata. Jika menganut standar kemiskinan versi Bank Dunia, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2013 mencapai 97,9 juta jiwa, atau setara dengan 40 persen. (Republika, 23/6/2013). Jumlah yang sangat besar dan lebih dari cukup sebagai bukti terjadinya kesenjangan dan kegagalan ekonomi.

Sejarah panjang bangsa ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita bahwa tidak cukup sekadar mengganti orang. Berbagai masalah tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti rezim. Sebelas kali Pemilu berlangsung, enam kali presiden berganti, tidak ada yang berubah dari negeri ini. Bahkan negeri ini makin terpuruk hampir di semua lini.

Kesejahteraan hakiki hanya akan terwujud, jika terjadi perubahan hakiki, yang tidak sekadar dengan perubahan orang, tetapi juga harus ada perubahan sistem secara mendasar dan menyeluruh. Bila kita menginginkan perubahan sistem, apalagi ideologi, kita tidak bisa berharap pada Pemilu, sebab Pemilu tidak menawarkan hal itu. Lagi pula dalam kenyataannya, perubahan rezim dan sistem, misalnya dari rezim Orde Lama ke Orde Baru, juga dari Orde Baru ke Orde Reformasi, begitu juga perubahan-perubahan besar di berbagai negara di dunia, termasuk apa yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah belakangan ini, tidaklah terjadi melalui Pemilu, termasuk Pilpres mendatang.

Perubahan hakiki, yakni perubahan sistem dan orang itu harus kita perjuangkan. Sebab, perubahan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perubahan hakiki hanya bisa kita wujudkan melalui perjuangan dakwah, yang sesuai thariqah (metoda) dakwah Rasulullah shollallaahu 'alaihi wa sallaam.

Sekaranglah saatnya mengganti sistem kapitalis yang bobrok tersebut. Pilihannya tinggal satu, yakni sistem Islam. Sebab, sistem Komunisme-Sosialisme telah terbukti kebobrokannya. Murad Wilfried Hofmann, mantan diplomat Jerman menyatakan bahwa ‘Islam the Alternative’.

Sistem Islam sudah terbukti bisa menyejahterakan setiap orang anggota masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim. Bahkan pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekayaan berlimpah, dan tidak ada yang mau menerima zakat. Ingatlah bumi Indonesia milik Allah, Dialah yang menciptakan, dan Dialah yang Maha Tahu aturan yang akan menyejahterakan penduduknya. Ayoo… ikut aktif menjadikan Bogor dan Indonesia negeri yang diberkahi, karena menegakkan Syariat Allah

Oleh: Muhammad Irfan,
Ketua DPD II HTI Kota Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar