"Pinjam Uang di Bank dengan SK PNS"
Di beberapa kalangan ada yang sangat girang bila telah mendapatkan SK pengangkatan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kegirangannya sebagian pegawai adalah agar bisa mengajukan kredit dengan mudah. Kalau kredit bisa dengan mudah tentu akan mendapatkan mobil, motor, atau rumah dengan mudah.
Itulah mengapa sebagian orang begitu semangat menjadi PNS, namun kami tidak katakan semuanya punya maksud seperti itu. Mohon tidak salah paham. Namun inilah prinsip sebagian pegawai.
Masa pengembalian pinjaman atau tenor ada yang maksimal adalah 10 tahun dengan besaran cicilan adalah 60% dari gaji pemohon kredit yang bersangkutan. Yang kami dengar dari sebagian pegawai negeri, gara-gara mesti mencicil seperti itu dari gajinya, sampai ada yang hanya membawa pulang Rp.60.000,- ketika gajian karena sebagian besar membayar cicilan di mana-mana. Wallahul musta’an.
Misalkan untuk PNS golongan III-B dengan gaji Rp 3 juta per bulan maka pinjaman yang diizinkan adalah Rp 216 juta yang merupakan hasil perkalian dari 60% gaji dikalikan dengan 10 tahun masa cicilan.
Enak benar yah jadi PNS …
Namun kaya dengan harta riba jelas tidak tenang. Dosa dan harta haram jelas menggelisahkan jiwa.
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Tak percaya kalau pengajuan kredit bank itu riba?
Coba bayangkan, mobil yang asalnya bisa dibeli dengan harga 160 juta rupiah secara cash karena kredit bank , akhirnya bisa dibayar hingga 200-an juta rupiah. Padahal kaedah yang patut diingat oleh setiap muslim bahwa setiap utang piutang yang dalamnya ada keuntungan, maka itu adalah riba.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Bukan hanya rentenir yang kena laknat, namun nasabah riba kena laknat. Patut diingat bahwa makna laknat adalah jauh dari rahmat Allah.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Kami mengemukakan bahasan ini karena sebagian pegawai negeri baru merasakan penyesalan setelah mengetahui hukum riba. Semoga semakin membuka hati pegawai yang lain dan kaum muslimin secara umum akan bahaya riba.
Coba kita memiliki sifat qana’ah, yang dijadikan standar mulia bukanlah kekayaan harta namun hati yang baik dan selalu merasa cukup.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Ini doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering beliau panjatkan agar kita selalu dicukupi dengan yang halal,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghni-nii bi fadhlika ‘amman siwaak”, artinya: Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan)
Tidak ada larangan sama sekali untuk menjadi PNS, namun marilah tulisan sederhana ini menjadi renungan agar kita tidak menggampang-gampangkan transaksi riba. Prinsip penting, “Carilah keberkahan, bukan yang penting punya.”
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Disusun menjelang Ashar di Darush Sholihin, 3 Safar 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id http://muslim.or.id/ fiqh-dan-muamalah/ pinjam-uang-di-bank-dengan- sk-pns.html
Di beberapa kalangan ada yang sangat girang bila telah mendapatkan SK pengangkatan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kegirangannya sebagian pegawai adalah agar bisa mengajukan kredit dengan mudah. Kalau kredit bisa dengan mudah tentu akan mendapatkan mobil, motor, atau rumah dengan mudah.
Itulah mengapa sebagian orang begitu semangat menjadi PNS, namun kami tidak katakan semuanya punya maksud seperti itu. Mohon tidak salah paham. Namun inilah prinsip sebagian pegawai.
Masa pengembalian pinjaman atau tenor ada yang maksimal adalah 10 tahun dengan besaran cicilan adalah 60% dari gaji pemohon kredit yang bersangkutan. Yang kami dengar dari sebagian pegawai negeri, gara-gara mesti mencicil seperti itu dari gajinya, sampai ada yang hanya membawa pulang Rp.60.000,- ketika gajian karena sebagian besar membayar cicilan di mana-mana. Wallahul musta’an.
Misalkan untuk PNS golongan III-B dengan gaji Rp 3 juta per bulan maka pinjaman yang diizinkan adalah Rp 216 juta yang merupakan hasil perkalian dari 60% gaji dikalikan dengan 10 tahun masa cicilan.
Enak benar yah jadi PNS …
Namun kaya dengan harta riba jelas tidak tenang. Dosa dan harta haram jelas menggelisahkan jiwa.
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Tak percaya kalau pengajuan kredit bank itu riba?
Coba bayangkan, mobil yang asalnya bisa dibeli dengan harga 160 juta rupiah secara cash karena kredit bank , akhirnya bisa dibayar hingga 200-an juta rupiah. Padahal kaedah yang patut diingat oleh setiap muslim bahwa setiap utang piutang yang dalamnya ada keuntungan, maka itu adalah riba.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)
Bukan hanya rentenir yang kena laknat, namun nasabah riba kena laknat. Patut diingat bahwa makna laknat adalah jauh dari rahmat Allah.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Kami mengemukakan bahasan ini karena sebagian pegawai negeri baru merasakan penyesalan setelah mengetahui hukum riba. Semoga semakin membuka hati pegawai yang lain dan kaum muslimin secara umum akan bahaya riba.
Coba kita memiliki sifat qana’ah, yang dijadikan standar mulia bukanlah kekayaan harta namun hati yang baik dan selalu merasa cukup.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Ini doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering beliau panjatkan agar kita selalu dicukupi dengan yang halal,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghni-nii bi fadhlika ‘amman siwaak”, artinya: Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan)
Tidak ada larangan sama sekali untuk menjadi PNS, namun marilah tulisan sederhana ini menjadi renungan agar kita tidak menggampang-gampangkan transaksi riba. Prinsip penting, “Carilah keberkahan, bukan yang penting punya.”
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
Disusun menjelang Ashar di Darush Sholihin, 3 Safar 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id http://muslim.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar