"Dakwah Jejaring Sosial"
Bismilllah,
Memberi faidah ilmu atau nasehat singkat baik melalui SMS atau status di jejaring sosial seperti facebook adalah amal mulia, salah satu bentuk taqarrub ilallah yang berpahala -insya Allah-. Namun ada yang perlu diperhatikan terkait dengan perbuatan ini, diantaranya adalah beberapa hal berikut:
1. Niat.
Memberi faidah ilmu atau nasehat singkat baik melalui SMS atau status di jejaring sosial seperti facebook adalah amal mulia, salah satu bentuk taqarrub ilallah yang berpahala -insya Allah-. Namun ada yang perlu diperhatikan terkait dengan perbuatan ini, diantaranya adalah beberapa hal berikut:
1. Niat.
Ini penting. Bahkan lebih penting dari amal shaleh itu sendiri.
Yahya bin Abi Katsir berkata, “Pelajarilah tentang niat, karena ia lebih
penting dari amal.” (Jami Al Ulum wal Hikam, hal 18). Maka, hendaknya
dilakukan dengan ikhlas; ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) melawan niat
riya, pamer, ingin dipuji, atau dapat jempol banyak dan lain-lain.
Mengapa harus ber-mujahadah? Karena mengikhlaskan niat itu tidak mudah.
Sufyan Atsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling sulit aku hadapi
selain niatku, karena ia senantiasa berbolak-balik.” (Idem). Jangan
sampai, niat mulia menebar ilmu berubah menjadi pamer ilmu. Nas`lullahal
‘afwa wal ‘aafiyah.
2. Memastikan bahwa pesan, ilmu atau nasehat itu
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; terdapat dalil yang
mendukungnya dari Al Qur’an, Sunnah dan perkataan para sahabat.
Standar
ilmiah bisa dirangkum dengan ungkapan: “shahih secara riwayat dan benar
secara istinbath“. Terkadang, seseorang menukil dalil dari Al Qur’an
atau hadis, tapi cara pendalilannya, tafsirnya, atau pemahamannya tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i. Oleh karena itu, ini juga harus
diwaspadai. Akan lebih selamat jika kita memakai pendalilan atau tafsir
para ulama yang kredibel dalam memahami dalil-dalil syar’i.
3. Menjaga
amanah ilmiah.
Hendaknya selalu berusaha mencantumkan sumber dari mana
ilmu atau faidah itu kita dapatkan. Hal ini agar kita tidak termasuk
orang-orang yang mendapat ancaman hadits,
“Orang yang mengaku-ngaku
memiliki (al mutasybbi’) dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia
seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR Bukhari
Muslim).
4. Hendaknya tidak menuliskan sesuatu yang bersinggungan dengan
syubhat dan masalah ilmiah yang memiliki tingkat kesulitan diluar
kapasitas kita.
Sehingga kemudian tidak memunculkan debat kusir yang
tidak bermanfaat.
5. Menjaga akhlak mulia.
Walaupun dalam bentuk tulisan,
hendaknya tetap memperhatikan sopan santun dan etika; tidak mengandung
celaan, kata-kata kasar dan bermuatan menjatuhkan kehormatan orang
lain.
6. Mempertimbangkan maslahat dan mafsadat serta tepat sasaran.
7.
Tidak mudah berfatwa,
karena fatwa memiliki kehormatan yang tidak boleh
dilakukan sembarang orang. Sehingga dikatakan, “Orang yang paling berani
berfatwa, adalah orang yang paling sedikit ilmunya”.
Wallahu ‘alam wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyinaa Muhammad
Penulis: Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Sumber: FP Muslim.Or.Id
Wallahu ‘alam wa shallallahu wa sallam ‘ala nabiyyinaa Muhammad
Penulis: Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Sumber: FP Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar