"Idul Fitri dan Budaya Konsumtif"
Pengantar
Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, ada kebiasaan menarik di kalangan umat Islam di negeri ini. Tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat dengan tajam, jika di awal Ramadhan, konsumsi atas kebutuhan pokok (sembako), makanan-makanan tertentu terutama ‘daging-dagingan’. Sedangkan menjelang idul fitri lebih banyak lagi, selain kebutuhan pokok (sembako), masyarakat berlomba memborong kebutuhan pelengkap seperti kue2, pakaian dan asesorisnya, barang elektronik, hingga kendaraan bermotor. Sebagian masyarakat, seolah ‘merasa wajib’ membeli berbagai barang konsumsi tersebut dengan dalih momen Ramadhan dan Idul Fitri adalah momen yang sangat istimewa. Apalagi bagi mereka yang punya tradisi pulang kampung (mudik),saat Idul fitri adalah saat mereka bersilaturrahim, yang bagi sebagiannya, dijadikan sebagai ajang unjuk gigi. Yang lebih menarik lagi, beberapa Ramadhan terakhir ini, justru pusat-pusat perbelanjaan, pasar-pasar atau mall-mall, tidak hanya ramai di penghujung Ramadhan, tetapi saat ini sudah ramai di awal Ramadhan, sitambah lagi dengan pesta diskon dimana-mana. Banyak di antara pengunjung sudah berbelanja un tuk kebutuhan Idul Fitri, sehingga kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang sering ditemui di pusat-pusat kota.
Bahkan bagi sebagian mereka, seolah tak masalah jika harus merogoh kocek dalam-dalam demi memuaskan perilaku konsumtif jelang lebaran. Bahkan tak sedikit yang akhirnya kehilangan rasionalitas; mengutang sana-sini, menggadaikan barang berharga, meminjam uang di bank berrente, semata-mata demi memenuhi “tradisi serba ada dan serba baru” di saat idul fitri.Tak heran jika bagi kalangan produsen, saat-saat menjelang lebaran adalah masa-masa panen keuntungan, karena volume penjualan barang yang mereka produksi atau yang mereka jual, biasanya meningkat berkali-kali lipat. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang fenomena ini ?
Islam Mengatur Pembelanjaan Harta
Sebagai diin yang sempurna, Islam mengatur bagaimana mengembangkan harta, sekaligus juga mengatur bagaimana cara membelanjakannya. Islam telah menetapkan metode pembelanjaan harta sekaligus menentukan bagaimana tata caranya. Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme-sekulerisme yang diterapkan saat ini, yang mengagungkan kebebasan pemilikan dan berperilaku, menjadikan manfaat sebagai asasnya. Dalam Islam, seorang pemilik harta tidak dibiarkan bebas mengelola dan membelanjakan harta, sekalipun harta itu secara hokum, sah merupakan miliknya. Akan tetapi Islam mengaturnya dengan rinci.
Islam telah melarang seseorang bertindak israf atau tabzir ketika membelanjakan harta, sekaligus melarang seseorang bersikap kikir atau taqtir. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Furqan [25] : 67 :
“Mereka yang jika mengeluarkan harta, tidak bertindak israf ataupun kikir (taqtir); pengeluarannya ada di tengah-tengah yang demikian”
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf (berlebih-lebihan)” (QS Al-A’raf : 31)
Israf dalam pengertian syara’ bermakna mengeluarkan harta dalam perkara yang haram atau kemaksiatan atau bukan di jalan yang haq, sekalipun yang dikeluarkan jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan kikir (taqtir) terhadap diri sendiri bermakna menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syari’ah (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nidzham al-Iqtishadi fil Islaam). Keduanya merupakan perkara yang dicela oleh Allah subhaanahu wa ta'alaa. Selain israf dan kikir (taqtir), Islam juga melarang kaum muslimin untuk berfoya-foya atau menghambur-hamburkan harta. Allah subhaanahu wa ta'alaa berfirman dalam QS. Al-Waqi’ah [56] : 41-45 :
“Golongan kiri , siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas. Dan air panas yang mendidih dalam naungan asap hitam.Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup berfoya-foya atau bermewah-mewah.
Selain itu Islam juga tidak menganjurkan kita untuk menyia-nyiakan harta (idha’atul maal), yaitu menafkahkan harta pada barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan, sehingga akhirnya barang tersebut tidak terpakai bahkan akhirnya terbuang. Rasulullah SAW bersabda : “… dimakruhkan atas kamu banyak atas kamu banyak bicara dan bertanya (tentang hal-hal yang sifatnya khayalan) serta menyia-nyiakan harta.”
Lalu, bagaimana dengan fenomena saat ini, apakah terkategori israf (boros/berlebihan) atau taftur (berfoya-foya/bermewah-mewah) atau menyia-nyiakan harta ?
Dari penjelasan makna tentang israf, maka dapat kita simpulkan, jika mereka membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang mubah atau untuk ketaatan dengan menjaga niat karena Allah, maka perilaku seperti ini tidak terkatagori israf atau tabzir. Akan tetapi, jika mereka membelanjakan hartanya untuk membeli minuman keras atau membeli pakaian yang diharamkan dipakai di tempat umum karena membuka aurat atau untuk berinfaq karena ingin dipuji misalnya maka itu termasuk perilaku israf atau tabzir yang diharamkan, tanpa melihat besar kecilnya jumlah harta yang dibelanjakan . Akan tetapi tentu saja kita harus berhati-hati dari tindakan foya-foya, yaitu membelanjakan harta demi kesombongan atau berbangga diri. Jadi, bukan semata-mata membelanjakan harta untuk menikmati kekayaan. Karena pada dasarnya, Islam tidak melarang kita untuk menikmati dan merasakan nikmatnya rezeki yang telah Allah anugerahkan. Allah subhaanahu wa ta'alaa berfirman, “Qul man harrama ziinatallaahil latii akhraja li ‘ibaadihii wath-thayyibaati minar-rizq” “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya, juga rezeki-Nya yang baik-baik?”
Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr ra yang mengatakan, bahwa Nabi Saw pernah bersabda : ”Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hambaNya.” Bahwa Allah suka jika hambaNya menikmati nikmat dari Allah sekaligus merasakan rezekiNya yang baik-baik, yang telah Allah anugerahkan kepadanya oleh Sang Pencipta alam semesta ini. Akan tetapi Allah membenci banyaknya kenikmatan yang mengakibatkan lahirnya sikap arogan, sombong dan membangkang yaitu ketika terjadi tindakan tarfu atau berfoya-foya. Nah, perilaku konsumtif yang muncul termasuk saat menjelang idul fitri ini, bisa menjerumuskan seseorang pada tindakan tarfu/berfoya-foya yang diharamkan Allah. Karena biasanya, perilaku konsumtif muncul didorong oleh nafsu ingin dipuji, ingin diakui eksistensi atau karena senang berbangga diri ataupun menjerumuskan diri pada perilaku menyia-nyiakan harta. Jika demikian halnya, maka seorang yang mengaku telah beriman kepada Allah dengan keimanan yang lurus, tentu tidak layak terjebak dalam perilaku seperti ini.
Khatimah
Perilaku konsumtif saat ini memang tengah mengancam kehidupan umat, telah menjebak umat Islam pada aktivitas mengejar kesenangan jasadi semata yang akan mendorong seseorang pada perbuatan yang menyalahi hokum-hukum syara’ bahkan lebih jauh, akan membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya Yakni menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya
Penyakit ini akan terus berkembang dan meracuni umat Islam selama sistem kapitalisme dan paham sekularisme yang melandasinya masih mendominasi kehidupan umat Islam. Karena itu, saatnya kaum muslimin mencampakkan sistem yang rusak dan merusak ini, kemudian menggantinya dengan sistem kehidupan Islam yang menjamin kemuliaan hakiki Caranya adalah dengan berupaya berdakwah membangun kesadaran masyarakat dengan Islam kaffah dan berupaya menegakkannya dalam wadah Khilafah Islamiyyah. Wallaahu a’lam bisshawwab (NS)
Sumber: Hizbut Tahrir
Pengantar
Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, ada kebiasaan menarik di kalangan umat Islam di negeri ini. Tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat dengan tajam, jika di awal Ramadhan, konsumsi atas kebutuhan pokok (sembako), makanan-makanan tertentu terutama ‘daging-dagingan’. Sedangkan menjelang idul fitri lebih banyak lagi, selain kebutuhan pokok (sembako), masyarakat berlomba memborong kebutuhan pelengkap seperti kue2, pakaian dan asesorisnya, barang elektronik, hingga kendaraan bermotor. Sebagian masyarakat, seolah ‘merasa wajib’ membeli berbagai barang konsumsi tersebut dengan dalih momen Ramadhan dan Idul Fitri adalah momen yang sangat istimewa. Apalagi bagi mereka yang punya tradisi pulang kampung (mudik),saat Idul fitri adalah saat mereka bersilaturrahim, yang bagi sebagiannya, dijadikan sebagai ajang unjuk gigi. Yang lebih menarik lagi, beberapa Ramadhan terakhir ini, justru pusat-pusat perbelanjaan, pasar-pasar atau mall-mall, tidak hanya ramai di penghujung Ramadhan, tetapi saat ini sudah ramai di awal Ramadhan, sitambah lagi dengan pesta diskon dimana-mana. Banyak di antara pengunjung sudah berbelanja un tuk kebutuhan Idul Fitri, sehingga kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang sering ditemui di pusat-pusat kota.
Bahkan bagi sebagian mereka, seolah tak masalah jika harus merogoh kocek dalam-dalam demi memuaskan perilaku konsumtif jelang lebaran. Bahkan tak sedikit yang akhirnya kehilangan rasionalitas; mengutang sana-sini, menggadaikan barang berharga, meminjam uang di bank berrente, semata-mata demi memenuhi “tradisi serba ada dan serba baru” di saat idul fitri.Tak heran jika bagi kalangan produsen, saat-saat menjelang lebaran adalah masa-masa panen keuntungan, karena volume penjualan barang yang mereka produksi atau yang mereka jual, biasanya meningkat berkali-kali lipat. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang fenomena ini ?
Islam Mengatur Pembelanjaan Harta
Sebagai diin yang sempurna, Islam mengatur bagaimana mengembangkan harta, sekaligus juga mengatur bagaimana cara membelanjakannya. Islam telah menetapkan metode pembelanjaan harta sekaligus menentukan bagaimana tata caranya. Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalisme-sekulerisme yang diterapkan saat ini, yang mengagungkan kebebasan pemilikan dan berperilaku, menjadikan manfaat sebagai asasnya. Dalam Islam, seorang pemilik harta tidak dibiarkan bebas mengelola dan membelanjakan harta, sekalipun harta itu secara hokum, sah merupakan miliknya. Akan tetapi Islam mengaturnya dengan rinci.
Islam telah melarang seseorang bertindak israf atau tabzir ketika membelanjakan harta, sekaligus melarang seseorang bersikap kikir atau taqtir. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Furqan [25] : 67 :
“Mereka yang jika mengeluarkan harta, tidak bertindak israf ataupun kikir (taqtir); pengeluarannya ada di tengah-tengah yang demikian”
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf (berlebih-lebihan)” (QS Al-A’raf : 31)
Israf dalam pengertian syara’ bermakna mengeluarkan harta dalam perkara yang haram atau kemaksiatan atau bukan di jalan yang haq, sekalipun yang dikeluarkan jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan kikir (taqtir) terhadap diri sendiri bermakna menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syari’ah (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nidzham al-Iqtishadi fil Islaam). Keduanya merupakan perkara yang dicela oleh Allah subhaanahu wa ta'alaa. Selain israf dan kikir (taqtir), Islam juga melarang kaum muslimin untuk berfoya-foya atau menghambur-hamburkan harta. Allah subhaanahu wa ta'alaa berfirman dalam QS. Al-Waqi’ah [56] : 41-45 :
“Golongan kiri , siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas. Dan air panas yang mendidih dalam naungan asap hitam.Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup berfoya-foya atau bermewah-mewah.
Selain itu Islam juga tidak menganjurkan kita untuk menyia-nyiakan harta (idha’atul maal), yaitu menafkahkan harta pada barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan, sehingga akhirnya barang tersebut tidak terpakai bahkan akhirnya terbuang. Rasulullah SAW bersabda : “… dimakruhkan atas kamu banyak atas kamu banyak bicara dan bertanya (tentang hal-hal yang sifatnya khayalan) serta menyia-nyiakan harta.”
Lalu, bagaimana dengan fenomena saat ini, apakah terkategori israf (boros/berlebihan) atau taftur (berfoya-foya/bermewah-mewah) atau menyia-nyiakan harta ?
Dari penjelasan makna tentang israf, maka dapat kita simpulkan, jika mereka membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang mubah atau untuk ketaatan dengan menjaga niat karena Allah, maka perilaku seperti ini tidak terkatagori israf atau tabzir. Akan tetapi, jika mereka membelanjakan hartanya untuk membeli minuman keras atau membeli pakaian yang diharamkan dipakai di tempat umum karena membuka aurat atau untuk berinfaq karena ingin dipuji misalnya maka itu termasuk perilaku israf atau tabzir yang diharamkan, tanpa melihat besar kecilnya jumlah harta yang dibelanjakan . Akan tetapi tentu saja kita harus berhati-hati dari tindakan foya-foya, yaitu membelanjakan harta demi kesombongan atau berbangga diri. Jadi, bukan semata-mata membelanjakan harta untuk menikmati kekayaan. Karena pada dasarnya, Islam tidak melarang kita untuk menikmati dan merasakan nikmatnya rezeki yang telah Allah anugerahkan. Allah subhaanahu wa ta'alaa berfirman, “Qul man harrama ziinatallaahil latii akhraja li ‘ibaadihii wath-thayyibaati minar-rizq” “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya, juga rezeki-Nya yang baik-baik?”
Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr ra yang mengatakan, bahwa Nabi Saw pernah bersabda : ”Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hambaNya.” Bahwa Allah suka jika hambaNya menikmati nikmat dari Allah sekaligus merasakan rezekiNya yang baik-baik, yang telah Allah anugerahkan kepadanya oleh Sang Pencipta alam semesta ini. Akan tetapi Allah membenci banyaknya kenikmatan yang mengakibatkan lahirnya sikap arogan, sombong dan membangkang yaitu ketika terjadi tindakan tarfu atau berfoya-foya. Nah, perilaku konsumtif yang muncul termasuk saat menjelang idul fitri ini, bisa menjerumuskan seseorang pada tindakan tarfu/berfoya-foya yang diharamkan Allah. Karena biasanya, perilaku konsumtif muncul didorong oleh nafsu ingin dipuji, ingin diakui eksistensi atau karena senang berbangga diri ataupun menjerumuskan diri pada perilaku menyia-nyiakan harta. Jika demikian halnya, maka seorang yang mengaku telah beriman kepada Allah dengan keimanan yang lurus, tentu tidak layak terjebak dalam perilaku seperti ini.
Khatimah
Perilaku konsumtif saat ini memang tengah mengancam kehidupan umat, telah menjebak umat Islam pada aktivitas mengejar kesenangan jasadi semata yang akan mendorong seseorang pada perbuatan yang menyalahi hokum-hukum syara’ bahkan lebih jauh, akan membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya Yakni menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya
Penyakit ini akan terus berkembang dan meracuni umat Islam selama sistem kapitalisme dan paham sekularisme yang melandasinya masih mendominasi kehidupan umat Islam. Karena itu, saatnya kaum muslimin mencampakkan sistem yang rusak dan merusak ini, kemudian menggantinya dengan sistem kehidupan Islam yang menjamin kemuliaan hakiki Caranya adalah dengan berupaya berdakwah membangun kesadaran masyarakat dengan Islam kaffah dan berupaya menegakkannya dalam wadah Khilafah Islamiyyah. Wallaahu a’lam bisshawwab (NS)
Sumber: Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar