"Arah Keluarga"
MAU DIBAWA KE MANA KELUARGA KITA ?
Marilah kita mulai pembahasan mengenai parenting – yang insyaallah akan berseri ini – dengan pertanyaan mendasar : “Mau dibawa kemana KELUARGA kita?” Ini dikarenakan bahwa berumah tangga ibarat berlayar jauh. Mesti punya tujuan. Ada hasil akhir yang ingin diraih. Maka, siapa yang berumah tangga tanpa arah, siap-siap tersesat di tengah samudera atau mengalami nasib terperangkap dalam perut ikan paus layaknya nabi Yunus. Lebih miris lagi jika terdampar di pulau asing tanpa kehidupan. Tak tahu harus berbuat apa dan kemana. Hanya menunggu maut datang menjemput.
Itulah kenapa, jika ditanya tentang persiapan menikah, bukan lagi sekedar modal uang yang banyak dan mental yang kuat. Terlebih dari itu, adalah persiapan Ilmu. Ilmu Nikah. Ilmu inilah yang mengantarkan kita kepada pulau tujuan dari pelayaran “cinta” kita. Mengajarkan kita bagaimana menaklukan ombak di tengah lautan. Melindungi penumpang saat perahu hendak karam. Rumah tangga yang tidak dibekali ilmu, maka tak ada orientasi. Anak-anak pun menjadi korban. Hadir ke dunia sekedar hidup tanpa bimbingan. Bagaimana mungkin orang tuanya bisa membimbing jika tidak punya bekal ilmu? Bisanya hanya marah-marah saat anak mulai berulah. Dan pukulan serta jeweran menjadi senjata yang ampuh untuk menghentikan perilaku anak yang menyimpang. Padahal semua bisa disiasati jika kita punya ilmunya. Tahu caranya. Mengerti cara mengatasinya. Itulah kenapa Umar bin Khattab pernah berkata “Tafaqqohu Qobla an tasuddu”. Pahamilah ilmu sebelum kalian memimpin rumah tangga.
Sebab seiring dengan perjalanan waktu, semangat membara berumah tangga yang tidak dibekali ilmu berujung kepada ketidaksakinahan. Keluarga bukan lagi tempat yang nyaman. Suara tawa dan lembut jarang terdengar. Yang sering hanya teriakan, caci maki dan tangis. Dirjen Binmas Kementrian Agama misalnya mencatat angka perceraian di Indonesia yang rata-rata sebesar 200.000 kasus terjadi per tahun di Indonesia. Itu artinya, ada sekitar 200.000 keluarga yang terancam karam dan bubar. Sisanya ada juga yang tetap bertahan. Tak bercerai. Namun tak ada perbaikan. Keluarga ini seperti yang disebut dalam alqur’an : “laa yamuutu fiiha walaa yahya”. Hidup segan, mati tak mau.
Jika keluarga rusak, implikasinya tentulah amat dahsyat. Negara pun ikut rusak. Sebab, keluarga gagal menghasilkan produk SDM unggul. Disebabkan salah dalam manajemen berkeluarga. Lagi-lagi ilmu nikah itu penting. Jangan sampai karena tidak punya ilmunya kita mengalam 4 tipe keluarga di bawah ini :
1. Keluarga Tipe Terminal
Layaknya terminal, rumah hanya dianggap sebagai tempat transit. Pembicaraan di antara anggota keluarga sekedar basa-basi. Tak pernah ada rapat serius. Sebab tak pernah ada orang yang memang nyaman rapat di terminal kecuali petugas terminal. Tak heran saat bertemu pertanyaannya standar “sudah makan belum?”, “PR sudah dikerjain nak?”. Sekedar lalu saja. Setelah itu sibuk lagi dengan urusan masing-masing. Semua permasalahan keluarga tak pernah didiskusikan. Akhirnya saat masalah makin bertumpuk, masing-masing menyalahkan. Tak cari solusi. Dan lebih memilih menghindar.
2. Keluarga Tipe Kuburan
Dalam keluarga ini, berbicara teramat irit. Bahkan sakral. Seorang anak tidak boleh bercanda dengan orang tuanya. Terasa kaku. Bahkan, kalaupun berbicara menganggap lawan bicara seperti batu nisan. Hanya ingin didengarkan, tak butuh di respons. Jika direspons, akan kaget. Sebab, belum pernah kita bicara di kuburan dibalas oleh batu nisan. Horror rasanya,
3. Keluarga Tipe Rumah Sakit
Dalam rumah sakit ada dua pihak yang merasa berperan penting. Yang pertama adalah dokter. Yang kedua, pasien. Dokter merasa dirinya berjasa. Sebab kalau tak ada dirinya, mungkin pasien akan sakit-sakitan terus. Bahkan terancam kehilangan nyawanya. Namun, pasien juga tak kalah pongah. Menurut pasien, dirinya amat berjasa telah membuat dokter bisa bekerja bahkan kaya raya. Kalau tak ada pasien atau orang sakit, mungkin akan banyak dokter yang menganggur, begitu kira-kira pikiran si pasien.
Intinya, dalam keluarga tipe rumah sakit, masing-masing merasa berjasa. Kalimat sakti mereka : “kalau bukan karena saya, maka….”. Suami merasa berjasa telah memenuhi kebutuhan keluarga. Istri merasa berjasa telah mengasuh anak di rumah. Orang tua merasa berjasa telah merawat dan mendidik anak. Si anak merasa berjasa telah melengkapi keluarga sehingga ayah dan ibunya tak dianggap mandul oleh orang lain.
4. Keluarga Tipe Pabrik
Anda tentu tahu bagaimana mekanisme kerja di pabrik. Seorang atasan, ingin produksi dan target perusahaan terpenuhi. Sementara bawahan atau karyawan ingin gaji dan fasilitas mereka dipenuhi. Masing-masing punya aspirasi pribadi. Begitu pula yang terjadi dalam keluarga tipe pabriik. Kata kunci mereka adalah : “Pokoknya…”. Maka tak heran, tak ada kerjasama. Masing-masing sibuk dengan urusan dan tugas masing-masing. Ayah menyalahkan ibu jika anak prestasinya menurun. Ibu dianggap tak pandai mengasuh. Ibu menyalahkan ayah jika tak mampu biayai kebutuhan keluarga. Ayah dianggap tak becus mencari nafkah. Begitulah suasana pabrik. Masing-masing merasa punya jobdesk sendiri-sendiri dan tak peduli dengan yang lain.
Tentu kita berharap agar kita tak mengalami nasib seperti 4 keluarga di atas. Sebab, tentulah dampaknya amat terasa khususnya ke anak-anak yang diasuh dalam keluarga tersebut. Alih-alih kita berharap muncul generasi yang tangguh dan kuat, justeru yang kita peroleh anak-anak yang lemah, merasa diabaikan, kurang perhatian dan tidak percaya diri. Generasi kuat hanya bisa dibentuk oleh keluarga yang kuat. Sebagaimana Allah lukiskan di dalam surat ash shaf ayat 4. Keluarga laksana bangunan yang kokoh. Menjadi tempat bernaung yang nyaman meski di luar terjadi badai angin topan. Kekokohan inilah yang kita coba wujudkan perlahan demi perlahan dengan mengetahui ilmu dasar membangun rumah tangga. Semoga Allah mudahkan kita untuk belajar. Aamiin.
Sumber: Materi Ust Bendri untuk Sahabat Ayah, Sabtu 25 Januari 2014
MAU DIBAWA KE MANA KELUARGA KITA ?
Marilah kita mulai pembahasan mengenai parenting – yang insyaallah akan berseri ini – dengan pertanyaan mendasar : “Mau dibawa kemana KELUARGA kita?” Ini dikarenakan bahwa berumah tangga ibarat berlayar jauh. Mesti punya tujuan. Ada hasil akhir yang ingin diraih. Maka, siapa yang berumah tangga tanpa arah, siap-siap tersesat di tengah samudera atau mengalami nasib terperangkap dalam perut ikan paus layaknya nabi Yunus. Lebih miris lagi jika terdampar di pulau asing tanpa kehidupan. Tak tahu harus berbuat apa dan kemana. Hanya menunggu maut datang menjemput.
Itulah kenapa, jika ditanya tentang persiapan menikah, bukan lagi sekedar modal uang yang banyak dan mental yang kuat. Terlebih dari itu, adalah persiapan Ilmu. Ilmu Nikah. Ilmu inilah yang mengantarkan kita kepada pulau tujuan dari pelayaran “cinta” kita. Mengajarkan kita bagaimana menaklukan ombak di tengah lautan. Melindungi penumpang saat perahu hendak karam. Rumah tangga yang tidak dibekali ilmu, maka tak ada orientasi. Anak-anak pun menjadi korban. Hadir ke dunia sekedar hidup tanpa bimbingan. Bagaimana mungkin orang tuanya bisa membimbing jika tidak punya bekal ilmu? Bisanya hanya marah-marah saat anak mulai berulah. Dan pukulan serta jeweran menjadi senjata yang ampuh untuk menghentikan perilaku anak yang menyimpang. Padahal semua bisa disiasati jika kita punya ilmunya. Tahu caranya. Mengerti cara mengatasinya. Itulah kenapa Umar bin Khattab pernah berkata “Tafaqqohu Qobla an tasuddu”. Pahamilah ilmu sebelum kalian memimpin rumah tangga.
Sebab seiring dengan perjalanan waktu, semangat membara berumah tangga yang tidak dibekali ilmu berujung kepada ketidaksakinahan. Keluarga bukan lagi tempat yang nyaman. Suara tawa dan lembut jarang terdengar. Yang sering hanya teriakan, caci maki dan tangis. Dirjen Binmas Kementrian Agama misalnya mencatat angka perceraian di Indonesia yang rata-rata sebesar 200.000 kasus terjadi per tahun di Indonesia. Itu artinya, ada sekitar 200.000 keluarga yang terancam karam dan bubar. Sisanya ada juga yang tetap bertahan. Tak bercerai. Namun tak ada perbaikan. Keluarga ini seperti yang disebut dalam alqur’an : “laa yamuutu fiiha walaa yahya”. Hidup segan, mati tak mau.
Jika keluarga rusak, implikasinya tentulah amat dahsyat. Negara pun ikut rusak. Sebab, keluarga gagal menghasilkan produk SDM unggul. Disebabkan salah dalam manajemen berkeluarga. Lagi-lagi ilmu nikah itu penting. Jangan sampai karena tidak punya ilmunya kita mengalam 4 tipe keluarga di bawah ini :
1. Keluarga Tipe Terminal
Layaknya terminal, rumah hanya dianggap sebagai tempat transit. Pembicaraan di antara anggota keluarga sekedar basa-basi. Tak pernah ada rapat serius. Sebab tak pernah ada orang yang memang nyaman rapat di terminal kecuali petugas terminal. Tak heran saat bertemu pertanyaannya standar “sudah makan belum?”, “PR sudah dikerjain nak?”. Sekedar lalu saja. Setelah itu sibuk lagi dengan urusan masing-masing. Semua permasalahan keluarga tak pernah didiskusikan. Akhirnya saat masalah makin bertumpuk, masing-masing menyalahkan. Tak cari solusi. Dan lebih memilih menghindar.
2. Keluarga Tipe Kuburan
Dalam keluarga ini, berbicara teramat irit. Bahkan sakral. Seorang anak tidak boleh bercanda dengan orang tuanya. Terasa kaku. Bahkan, kalaupun berbicara menganggap lawan bicara seperti batu nisan. Hanya ingin didengarkan, tak butuh di respons. Jika direspons, akan kaget. Sebab, belum pernah kita bicara di kuburan dibalas oleh batu nisan. Horror rasanya,
3. Keluarga Tipe Rumah Sakit
Dalam rumah sakit ada dua pihak yang merasa berperan penting. Yang pertama adalah dokter. Yang kedua, pasien. Dokter merasa dirinya berjasa. Sebab kalau tak ada dirinya, mungkin pasien akan sakit-sakitan terus. Bahkan terancam kehilangan nyawanya. Namun, pasien juga tak kalah pongah. Menurut pasien, dirinya amat berjasa telah membuat dokter bisa bekerja bahkan kaya raya. Kalau tak ada pasien atau orang sakit, mungkin akan banyak dokter yang menganggur, begitu kira-kira pikiran si pasien.
Intinya, dalam keluarga tipe rumah sakit, masing-masing merasa berjasa. Kalimat sakti mereka : “kalau bukan karena saya, maka….”. Suami merasa berjasa telah memenuhi kebutuhan keluarga. Istri merasa berjasa telah mengasuh anak di rumah. Orang tua merasa berjasa telah merawat dan mendidik anak. Si anak merasa berjasa telah melengkapi keluarga sehingga ayah dan ibunya tak dianggap mandul oleh orang lain.
4. Keluarga Tipe Pabrik
Anda tentu tahu bagaimana mekanisme kerja di pabrik. Seorang atasan, ingin produksi dan target perusahaan terpenuhi. Sementara bawahan atau karyawan ingin gaji dan fasilitas mereka dipenuhi. Masing-masing punya aspirasi pribadi. Begitu pula yang terjadi dalam keluarga tipe pabriik. Kata kunci mereka adalah : “Pokoknya…”. Maka tak heran, tak ada kerjasama. Masing-masing sibuk dengan urusan dan tugas masing-masing. Ayah menyalahkan ibu jika anak prestasinya menurun. Ibu dianggap tak pandai mengasuh. Ibu menyalahkan ayah jika tak mampu biayai kebutuhan keluarga. Ayah dianggap tak becus mencari nafkah. Begitulah suasana pabrik. Masing-masing merasa punya jobdesk sendiri-sendiri dan tak peduli dengan yang lain.
Tentu kita berharap agar kita tak mengalami nasib seperti 4 keluarga di atas. Sebab, tentulah dampaknya amat terasa khususnya ke anak-anak yang diasuh dalam keluarga tersebut. Alih-alih kita berharap muncul generasi yang tangguh dan kuat, justeru yang kita peroleh anak-anak yang lemah, merasa diabaikan, kurang perhatian dan tidak percaya diri. Generasi kuat hanya bisa dibentuk oleh keluarga yang kuat. Sebagaimana Allah lukiskan di dalam surat ash shaf ayat 4. Keluarga laksana bangunan yang kokoh. Menjadi tempat bernaung yang nyaman meski di luar terjadi badai angin topan. Kekokohan inilah yang kita coba wujudkan perlahan demi perlahan dengan mengetahui ilmu dasar membangun rumah tangga. Semoga Allah mudahkan kita untuk belajar. Aamiin.
Sumber: Materi Ust Bendri untuk Sahabat Ayah, Sabtu 25 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar