Sabtu, 31 Mei 2014

"Haram=Najis?"

"Haram=Najis?"



Apakah Setiap yang Haram itu Najis?

Apakah setiap yang haram itu najis? Misal saja khomr (miras) yang sudah kita pahami haramnya, apakah dihukumi pula najis sehingga tidak boleh disentuh.

Ibnu Taimiyah

rahimahullah telah memberikan kita kaedah mudah untuk memahami najis dan haram. Beliau berkata,

‫كُلُّ نَجِسٍ مُحَرَّمَ الْأَكْلِ وَلَيْسَ كُلُّ مُحَرَّمِ الْأَكْلِ نَجِسًا‬


Setiap najis diharamkan untuk dimakan, namun tidak setiap yang haram dimakan itu najis.” (Majmu’atul Fatawa, 21: 16).

Kaedah ini bermakna setiap yang najis haram dimakan. Sedangkan sesuatu yang haram, belum tentu najis, bisa jadi pula suci.

Penerapan Kaedah

1- Racun haram untuk dikonsumsi karena memberikan dhoror (bahaya) pada tubuh. Namun jikalau haram, tidak semata-mata dihukumi najisnya. Karena keharaman belum tentu mengkonsekuensikan najis.

2- Makanan yang dicuri diharamkan untuk dikonsumsi karena tidak ada izin si empunya atau pula tidak diizinkan oleh syari’at. Akan tetapi sesuatu yang haram ini tidak menunjukkan najisnya.

3- Khomr sudah disepakati haramnya, namun -menurut pendapat terkuat- khomr tidaklah najis. Karena hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang najisnya. Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata mengenai firman Allah,

‫يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ‬

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah kotor termasuk perbuatan syaitan” (QS. Al Maidah: 90). Khomr di sini dikaitkan dengan anshob (berhala) dan azlam (anak panah). Ini sudah mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah kotor maknawi dan bukan najis syar’i (Lihat Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, hal. 62-63).

4- Darah -yang dialirkan- dihukumi haram berdasarkan ayat,

‫إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ‬

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 115).

Yang dimaksudkan darah yang dialirkan disebutkan dalam ayat,

‫قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ‬


Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al An’am: 145).

Namun meskipun darah diharamkan tetapi tidaklah najis. Hukum darah itu kembali pada hukum asal segala sesuatu yaitu suci sampai ada dalil yang menyatakan najisnya. Darah yang dianggap najis hanyalah darah haidh, selain itu dihukumi akan sucinya. Lihat pembahasan Imam Asy Syaukani dalam

Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 61.

Mengenai kaedah di atas dijelaskan pula oleh Imam Ash Shon’ani,

“Sesuatu yang najis tentu saja haram, namun tidak sebaliknya. Karena najis berarti tidak boleh disentuh dalam setiap keadaan. Hukum najisnya suatu benda berarti menunjukkan haramnya, namun tidak sebaliknya. Diharamkan memakai sutera dan emas (bagi pria), namun keduanya itu suci karena didukung oleh dalil dan ijma’ (konsensus para ulama). Jika engkau mengetahui hal ini, maka haramnya khomr dan daging keledai jinak sebagaimana disebutkan dalam dalil tidak menunjukkan akan najisnya. Jika ingin menyatakan najis, harus didukung dengan dalil lain. Jika tidak, maka kita tetap berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu suci. Siapa yang mengklaim keluar dari hukum asal, maka ia harus mendatangkan dalil. Sedangkan bangkai dihukumi najisnya karena dalil mengatakan haram sekaligus najisnya.” (Lihat Subulus Salam, 1: 158).

Semoga kaedah yang dikaji di pagi ini, bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

1- Ad Daroril Mudhiyyah, Al Imam Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H.
2- Al Harom fii Syari’atil Islamiyyah, Dr. Quthb Ar Risuni, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1432 H.
3- Majmu’atul Fatawa, Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah Al Harroni, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
4- Subulus Salam Al Muwshilah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedelapan, tahun 1432 H.

Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar