"Mencintai-Dicintai"
“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka."
Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah shollallaahu 'alaihi wasalaam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah”. (HR. Tirmidzi).
Kisah 1
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku.
Abu Bein bertanya: “Apa yang sedang Anda kerjakan?”
"Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan," jawab Malaikat.
Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi
kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta
manusia.”
Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada
papan atas daftar pecinta Tuhan.
Ia pun protes: “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia.”
Malaikat itu berkata: “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
Mencintai Allah Ta'ala bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas ini pernah ditekankan oleh Nabi shollallaahu 'alaihi wasallaam dalam sebuah hadits qudsi:
“Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur”. Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkret, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin.
Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah dicontohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya radhiallaahu 'anhum. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya.
Mencintai Allah Ta'ala berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara-saudara kita yang ditimpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain.
Dalam hal ini Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah).
Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah,
bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.”
Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Kisah 2
Sewaktu masih kecil, Husain (cucu Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam) bertanya kepada ayahnya, Sayidina Ali rodhiallaahu 'anhu: “Apakah engkau mencintaiAllah?”
Ali rodhiallaahu 'anhu menjawab, “Ya”.
Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?”
Ali rodhiallahu 'anhu kembali menjawab, “Ya”.
Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?”
Lagi-lagi Ali rodhiallaahu 'anhu menjawab,”Ya”.
Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?”
Ali menjawab, “Ya”.
Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?”
Kemudian Sayidina Ali rodiallaahu 'anhu menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi shollallaahu 'alaihi wasallaam), ibumu (Fatimah rodhiallaahu 'anha) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah”. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah."
Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.
#mahabbatulloh
Penutup
“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka."
Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah shollallaahu 'alaihi wasalaam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah”. (HR. Tirmidzi).
Sumber: Kata Kata Hikmah
Catatan: Mengungkapkan Cinta dan Sayang tidak perlu waktu khusus, misalnya saat ulang tahun, saat tanggal tertentu, atau saat waktu tertentu lainnya, akan tetapi bisa kita lakukan setiap waktu, sepanjang hari, sepanjang tahun, hingga akhir hayat. Tentu harus tetap dalam jalan Allah Ta'ala. Demi mendapat ridho-Nya. Aamiin.
Allahu a'lam.
“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka."
Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah shollallaahu 'alaihi wasalaam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah”. (HR. Tirmidzi).
Kisah 1
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku.
Abu Bein bertanya: “Apa yang sedang Anda kerjakan?”
"Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan," jawab Malaikat.
Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi
kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta
manusia.”
Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada
papan atas daftar pecinta Tuhan.
Ia pun protes: “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia.”
Malaikat itu berkata: “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
Mencintai Allah Ta'ala bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas ini pernah ditekankan oleh Nabi shollallaahu 'alaihi wasallaam dalam sebuah hadits qudsi:
“Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur”. Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkret, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin.
Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah dicontohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya radhiallaahu 'anhum. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya.
Mencintai Allah Ta'ala berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara-saudara kita yang ditimpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain.
Dalam hal ini Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah).
Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah,
bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.”
Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Kisah 2
Sewaktu masih kecil, Husain (cucu Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam) bertanya kepada ayahnya, Sayidina Ali rodhiallaahu 'anhu: “Apakah engkau mencintaiAllah?”
Ali rodhiallaahu 'anhu menjawab, “Ya”.
Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?”
Ali rodhiallahu 'anhu kembali menjawab, “Ya”.
Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?”
Lagi-lagi Ali rodhiallaahu 'anhu menjawab,”Ya”.
Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?”
Ali menjawab, “Ya”.
Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?”
Kemudian Sayidina Ali rodiallaahu 'anhu menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi shollallaahu 'alaihi wasallaam), ibumu (Fatimah rodhiallaahu 'anha) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah”. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah."
Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.
#mahabbatulloh
Penutup
“Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka."
Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah shollallaahu 'alaihi wasalaam menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah”. (HR. Tirmidzi).
Sumber: Kata Kata Hikmah
Catatan: Mengungkapkan Cinta dan Sayang tidak perlu waktu khusus, misalnya saat ulang tahun, saat tanggal tertentu, atau saat waktu tertentu lainnya, akan tetapi bisa kita lakukan setiap waktu, sepanjang hari, sepanjang tahun, hingga akhir hayat. Tentu harus tetap dalam jalan Allah Ta'ala. Demi mendapat ridho-Nya. Aamiin.
Allahu a'lam.
postingan versi Valentine.. cinta2an semua.. hahaha..
BalasHapusTapi ini cinta yang suci.. Insya Allah..^_^
BalasHapus