"Hidangan yang Sama"
Dalam Al-Qur’an, makna hati (terdapat 188 ayat dalam Al-Qur’an) diungkapkan dalam 4 kata, yakni shodru (jamak : shuduur), qalbu (jamak : quluub), fuad (jamak : af-idah) dan lubb (jamak : al-baab).
”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)
Dalam buku Kisah-Kisah Unik yang ditulis oleh Fahrurrazi Meng (2004), menyebutkan Lukman al-Hakim yang namanya diabadikan menjadi nama Surat dalam al-Qur’an (QS:31) adalah seorang budak Ethopia berkulit hitam yang tukang kayu.
Suatu kali, sang majikan menyuruhnya menyembelih seekor domba dan berpesan agar bagian yang paling lezat dihidangkan kepadanya. Lalu, Lukman menyajikan sepotong hati dan lidah.
Selang beberapa waktu kemudian, sang majikan kembali meminta disembelihkan seekor domba lagi dan menyajikan bagian yang tak enak untuknya. Lalu, Lukman menghidangkan hal yang sama yakni sekerat hati dan lidah.
Sang majikan penasaran dan bertanya, ”Hai Lukman, mengapa engkau menyajikan hidangan yang sama? Ketika aku meminta bagian yang paling enak dan yang tidak enak, engkau menghidangkan hati dan lidah.
Lukman menjawab dengan bijaksana, ”Sebab tidak ada yang lebih baik daripada hati dan lidah bilamana ia baik, dan tidak ada yang lebih tidak enak daripada hati dan lidah bilamana ia buruk”.
Hati dan lidah memiliki makna fisik (lahiriyah) dan metafisik (batiniyah). Secara fisik, hati (kalbu) adalah hati atau jantung yang menjadi sentral dalam jasmani manusia.
Secara metafisik, hati adalah wadah dan pusat aktifitas diri dan menampung segala bentuk sikap, perbuatan dan fikiran manusia.
Sementara, lidah secara fisik adalah organ yang membuat manusia bisa berbicara. Tapi secara metafisik, lidah adalah ucapan yang keluar dari mulut manusia.
Sungguh, hati dan lisan tidak bisa dipisahkan. Hati adalah wadah yang menampung segala macam tindak tanduk manusia, sementara lisan adalah corong (saluran) untuk mengungkapkan isi hati manusia.
Hati laksana mata air. Jika mata airnya bening, maka yang mengalir juga bening, bahkan bisa diminum tanpa dimasak dahulu. Tapi, bila mata air keruh, air yang mengalir pun keruh.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazali membahas panjang lebar bahaya-bahaya lidah. ”Sesungguhnya lidah orang Mukmin itu di belakang hatinya. Apabila hendak mengatakan sesuatu, maka ia mempertimbangkan dengan hatinya. Lalu ia ungkapkan dengan lidahnya. Sementara, lidah orang munafik di depan hatinya, apabila ia ingin sesuatu maka ia ungkapkan dengan lidahnya dan tidak mempertimbangkan dengan hatinya.” (HR. Khirithi dari Hasan al-Bashri).
Karena itu pula, hati menjadi penentu kebaikan diri. ”Sungguh dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya. Apabila ia buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, bia ia adalah hati.” (HR. Bukhari).
Dalam Al-Qur’an, makna hati (terdapat 188 ayat dalam Al-Qur’an) diungkapkan dalam 4 kata, yakni shodru (jamak : shuduur), qalbu (jamak : quluub), fuad (jamak : af-idah) dan lubb (jamak : al-baab).
Pertama, Shodru yang melukiskan lapisan hati yang paling luar dan sering kita artikan dengan dada. Ia yang merespons setiap rangsangan dari luar, sehingga bisa lapang, sempit, emosi, marah dan sadar (tampaknya berasal dari kata shodru).
Kata shodru ditemukan di beberapa ayat, antara lain bermakna sebagai tempat syaitan membisikkan hal-hal negatif (yuwaswis) (114:5),
Kitab Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shollallaahu 'alaihi wa sallaam. maka janganlah ada kesempitan (7:2), bukankah kami telah melapangkan dadamu? (94:1). Berkata Musa as, ”Tuhanku, lapangkanlah untuk dadaku” (20:25).
Kedua, qalbu yang secara harfiyah berarti bolak balik. Kata ini sering dipakai untuk memaknai hati pada lapisan kedua setelah shodru. Qolbu adalah wadah ilmu, pemahaman, perenungan, akal dan juga rasa tenteram, resah bahkan penyakit.
Makanya, jika bisikan atau derita masuk ke shodru, manusia merasakan was-was, sesak, emosi dan marah. Tapi, jika sudah masuk ke qolbu, maka akan lebih merasakan resah atau sebaliknya menjadi tentram.
Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallaam menyuruh untuk meminta fatwa kepada qalbu. Bila qalbu tidak mampu mengelola masalah secara positif, maka akan menjadi penyakit hati (2:10). Hati akan menjadi tenang dengan dzikrullah (13:28).
Manusia yang hatinya tidak berfungsi akan bertindak laksana binatang (7:179). Makanya, bila manusia buta (gelap mata), bukan matanya yang buta, tapi yang di dalam shuduur, yakni hati (22:46).
Ketiga, Fuad sebagai lapisan ketiga dari hati. Jika qalbu adalah wadah untuk menampung ilmu, pemahaman, akal untuk merenungi segala fenomena, maka fuad adalah yang memutuskan untuk dipilih dari sekian pilihan yang ada.
Fuad tak pernah berdusta, karena ia mendapatkan data dan informasi yang cukup dari qalbu (53:11). Karena itulah, fuad yang diberikan Allah ketika seorang bayi lahir setelah pendengaran dan penglihatan (16:78,23:78,32:9), dan fuad pula yang kelak akan diminta tanggung jawaban, kerena ia yang memutuskan terhadap sesuatu (17:36).
Keempat, Lubb sebagai lapisan keempat (terdalam) dari hati manusia, lubuk hati yang merupakan cermin dan kualitas hati tertinggi. Lubb merupakan pantulan cahaya (nur) Ilahi dalam diri manusia.
Jika cermin ini terus bening, maka ia bisa menembus hingga cermin Ilahi dan catatan ghaib kehidupan. Karenanya, sangat mungkin seorang yang bening hatinya memiliki firasat yang menembus alam materi.
Sabda Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallaam menyebutnya firasat Mukmin yang melihat dengan cahaya Ilahi. (HR. Turmudzi). Karena itu, orang-orang yang mengetahui hakikat masalah terdalam disebut Ulil Albab (2:197,40:54),
Merekalah yang mengetahui hakekat dari ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat (3:7), yang mampu merenungi pergantian siang dan malam (3:190), yang bisa membedakan kebaikan dan keburukan (5:100), merekalah yang bisa mengambil pelajaran (13:19,14:52).
Hati adalah wadah dan lisan adalah ungkapan hati. Bagaimana isi hati, itu pula yang terucap. Maka, jagalah hati, jangan kotori. Jika hati bersih, maka ucapan pun bersih. Jika hati kotor, maka ucapan pun kotor.
Meskipun, terkadang bisa direkayasa seakan bersih, memuliakan, sopan, padahal picik, merendahkan dan menghinakan. Jangan mudah terpedaya. Allahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA.
Ketua Yayasan Dinamika Umat/Dosen Unida Bogor
Dalam Al-Qur’an, makna hati (terdapat 188 ayat dalam Al-Qur’an) diungkapkan dalam 4 kata, yakni shodru (jamak : shuduur), qalbu (jamak : quluub), fuad (jamak : af-idah) dan lubb (jamak : al-baab).
”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)
Dalam buku Kisah-Kisah Unik yang ditulis oleh Fahrurrazi Meng (2004), menyebutkan Lukman al-Hakim yang namanya diabadikan menjadi nama Surat dalam al-Qur’an (QS:31) adalah seorang budak Ethopia berkulit hitam yang tukang kayu.
Suatu kali, sang majikan menyuruhnya menyembelih seekor domba dan berpesan agar bagian yang paling lezat dihidangkan kepadanya. Lalu, Lukman menyajikan sepotong hati dan lidah.
Selang beberapa waktu kemudian, sang majikan kembali meminta disembelihkan seekor domba lagi dan menyajikan bagian yang tak enak untuknya. Lalu, Lukman menghidangkan hal yang sama yakni sekerat hati dan lidah.
Sang majikan penasaran dan bertanya, ”Hai Lukman, mengapa engkau menyajikan hidangan yang sama? Ketika aku meminta bagian yang paling enak dan yang tidak enak, engkau menghidangkan hati dan lidah.
Lukman menjawab dengan bijaksana, ”Sebab tidak ada yang lebih baik daripada hati dan lidah bilamana ia baik, dan tidak ada yang lebih tidak enak daripada hati dan lidah bilamana ia buruk”.
Hati dan lidah memiliki makna fisik (lahiriyah) dan metafisik (batiniyah). Secara fisik, hati (kalbu) adalah hati atau jantung yang menjadi sentral dalam jasmani manusia.
Secara metafisik, hati adalah wadah dan pusat aktifitas diri dan menampung segala bentuk sikap, perbuatan dan fikiran manusia.
Sementara, lidah secara fisik adalah organ yang membuat manusia bisa berbicara. Tapi secara metafisik, lidah adalah ucapan yang keluar dari mulut manusia.
Sungguh, hati dan lisan tidak bisa dipisahkan. Hati adalah wadah yang menampung segala macam tindak tanduk manusia, sementara lisan adalah corong (saluran) untuk mengungkapkan isi hati manusia.
Hati laksana mata air. Jika mata airnya bening, maka yang mengalir juga bening, bahkan bisa diminum tanpa dimasak dahulu. Tapi, bila mata air keruh, air yang mengalir pun keruh.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazali membahas panjang lebar bahaya-bahaya lidah. ”Sesungguhnya lidah orang Mukmin itu di belakang hatinya. Apabila hendak mengatakan sesuatu, maka ia mempertimbangkan dengan hatinya. Lalu ia ungkapkan dengan lidahnya. Sementara, lidah orang munafik di depan hatinya, apabila ia ingin sesuatu maka ia ungkapkan dengan lidahnya dan tidak mempertimbangkan dengan hatinya.” (HR. Khirithi dari Hasan al-Bashri).
Karena itu pula, hati menjadi penentu kebaikan diri. ”Sungguh dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya. Apabila ia buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, bia ia adalah hati.” (HR. Bukhari).
Dalam Al-Qur’an, makna hati (terdapat 188 ayat dalam Al-Qur’an) diungkapkan dalam 4 kata, yakni shodru (jamak : shuduur), qalbu (jamak : quluub), fuad (jamak : af-idah) dan lubb (jamak : al-baab).
Pertama, Shodru yang melukiskan lapisan hati yang paling luar dan sering kita artikan dengan dada. Ia yang merespons setiap rangsangan dari luar, sehingga bisa lapang, sempit, emosi, marah dan sadar (tampaknya berasal dari kata shodru).
Kata shodru ditemukan di beberapa ayat, antara lain bermakna sebagai tempat syaitan membisikkan hal-hal negatif (yuwaswis) (114:5),
Kitab Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shollallaahu 'alaihi wa sallaam. maka janganlah ada kesempitan (7:2), bukankah kami telah melapangkan dadamu? (94:1). Berkata Musa as, ”Tuhanku, lapangkanlah untuk dadaku” (20:25).
Kedua, qalbu yang secara harfiyah berarti bolak balik. Kata ini sering dipakai untuk memaknai hati pada lapisan kedua setelah shodru. Qolbu adalah wadah ilmu, pemahaman, perenungan, akal dan juga rasa tenteram, resah bahkan penyakit.
Makanya, jika bisikan atau derita masuk ke shodru, manusia merasakan was-was, sesak, emosi dan marah. Tapi, jika sudah masuk ke qolbu, maka akan lebih merasakan resah atau sebaliknya menjadi tentram.
Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallaam menyuruh untuk meminta fatwa kepada qalbu. Bila qalbu tidak mampu mengelola masalah secara positif, maka akan menjadi penyakit hati (2:10). Hati akan menjadi tenang dengan dzikrullah (13:28).
Manusia yang hatinya tidak berfungsi akan bertindak laksana binatang (7:179). Makanya, bila manusia buta (gelap mata), bukan matanya yang buta, tapi yang di dalam shuduur, yakni hati (22:46).
Ketiga, Fuad sebagai lapisan ketiga dari hati. Jika qalbu adalah wadah untuk menampung ilmu, pemahaman, akal untuk merenungi segala fenomena, maka fuad adalah yang memutuskan untuk dipilih dari sekian pilihan yang ada.
Fuad tak pernah berdusta, karena ia mendapatkan data dan informasi yang cukup dari qalbu (53:11). Karena itulah, fuad yang diberikan Allah ketika seorang bayi lahir setelah pendengaran dan penglihatan (16:78,23:78,32:9), dan fuad pula yang kelak akan diminta tanggung jawaban, kerena ia yang memutuskan terhadap sesuatu (17:36).
Keempat, Lubb sebagai lapisan keempat (terdalam) dari hati manusia, lubuk hati yang merupakan cermin dan kualitas hati tertinggi. Lubb merupakan pantulan cahaya (nur) Ilahi dalam diri manusia.
Jika cermin ini terus bening, maka ia bisa menembus hingga cermin Ilahi dan catatan ghaib kehidupan. Karenanya, sangat mungkin seorang yang bening hatinya memiliki firasat yang menembus alam materi.
Sabda Nabi shollallaahu 'alaihi wa sallaam menyebutnya firasat Mukmin yang melihat dengan cahaya Ilahi. (HR. Turmudzi). Karena itu, orang-orang yang mengetahui hakikat masalah terdalam disebut Ulil Albab (2:197,40:54),
Merekalah yang mengetahui hakekat dari ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat (3:7), yang mampu merenungi pergantian siang dan malam (3:190), yang bisa membedakan kebaikan dan keburukan (5:100), merekalah yang bisa mengambil pelajaran (13:19,14:52).
Hati adalah wadah dan lisan adalah ungkapan hati. Bagaimana isi hati, itu pula yang terucap. Maka, jagalah hati, jangan kotori. Jika hati bersih, maka ucapan pun bersih. Jika hati kotor, maka ucapan pun kotor.
Meskipun, terkadang bisa direkayasa seakan bersih, memuliakan, sopan, padahal picik, merendahkan dan menghinakan. Jangan mudah terpedaya. Allahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA.
Ketua Yayasan Dinamika Umat/Dosen Unida Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar