"Mungkin Ya, Mungkin Tidak"
Pada zaman dahulu, disebuah desa tinggal seorang ulama yang bijaksana. Karena kebijaksanaannya, ulama ini selalu dijadikan tempat bertanya dan meminta nasihat orang-orang desa itu. Salah satu penduduk desa adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari dengan menggunakan kereta kudanya berkeliling antar desa untuk berjualan.
Hingga pada suatu hari kuda satu-satunya itu mati mendadak. Dia kebingungan karena tidak siap untuk mencari kuda pengganti. Apalagi untuk membeli kuda baru ia belum punya uang. Kebingungannya bertambah-tambah karena barang dagangannya yang berupa sayur mayur menjadi layu dan busuk.
Dengan sedih hati pedagang tadi menemui sang ulama."Kyai, tolonglah saya, saya sedang mendapat musibah, kuda satu-satunya yang merupakan tulang punggung saya untuk mendapatkan nafkah telah mati. Harus kemana saya bisa mendapatkan uang untuk anak istri? Ini adalah musibah yang buruk yang menimpa saya," kata sang pedagang.
Ulama itu lalu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Sehingga pedagang sayur yang mendengar jawaban ulama merasa bingung, bahkan menganggap ulama tersebut sedang kacau pikirannya.
Namun keesokan harinya, tiba-tiba dihalaman rumah pedagang, muncul seekor kuda yang masih muda. Dalam hatinya timbul pertanyaan,"Ini kuda siapa?." Ia pun menangkap kuda itu. Maka bahagialah pedagang ini. Kuda yang ditangkapnya lebih muda, kekar dan sehat dibandingkan kudanya yang mati.
Ia datang kembali kepada ulama dan berkata,"Kyai, maafkan saya ternyata ucapan kyai benar. Sekarang saya mempunyai kuda yang lebih baik dibandingkan kuda saya yang dulu. Bukankah ini adalah hal yang terbaik yang saya dapatkan?."
Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Pedagang itu kecewa dengan ucapan sang ulama. Dia pun pulang sambil geleng-geleng kepala. "Ulama itu pasti sedang stres batinnya." gumam pedagang.
Beberapa hari kemudian, anaknya yang masih muda mencoba menaiki kuda baru itu. dia jatuh dan kakinya diinjak oleh kuda. Akibatnya kaki anaknya patah. Betapa kecewa dan sedihnya pedagang itu karena anak lelakinya yang diharapkan menjadi penerus usahanya, kakinya kini lumpuh. Pedagang ini pun kembali mendatangi sang ulama dan berkata, "kyai, saat ini saya benar-benar mendapat musibah, anak saya kini tak bisa membantu usaha saya. Sekarang kakinya lumpuh tak bisa bergerak. Kini kyai pasti setuju musibah ini adalah hal terburuk yang saya alami."
Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." mendengar ucapan kyai pedagang kembali kecewa. Dan bahkan sekarang merasa marah. Dia pun pulang sambil menggerutu.
Sebulan kemudian, kerajaan dinegara tersebut berperang dengan kerajaan lain. Dikarenakan kekurangan tentara, kerajaan mewajibkan setiap pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh anak pedagang itu dibebaskan dari kewajiban itu. Kini sang pedagang bersyukur, dan mengerti maksud dari ucapan ulama bijaksana itu.
Demikian manusia, sering terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Padahal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita, dan hal yang kita benci belum tentu buruk untuk kita.
Sumber: Catatan 30 Agustus 2013
Pada zaman dahulu, disebuah desa tinggal seorang ulama yang bijaksana. Karena kebijaksanaannya, ulama ini selalu dijadikan tempat bertanya dan meminta nasihat orang-orang desa itu. Salah satu penduduk desa adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari dengan menggunakan kereta kudanya berkeliling antar desa untuk berjualan.
Hingga pada suatu hari kuda satu-satunya itu mati mendadak. Dia kebingungan karena tidak siap untuk mencari kuda pengganti. Apalagi untuk membeli kuda baru ia belum punya uang. Kebingungannya bertambah-tambah karena barang dagangannya yang berupa sayur mayur menjadi layu dan busuk.
Dengan sedih hati pedagang tadi menemui sang ulama."Kyai, tolonglah saya, saya sedang mendapat musibah, kuda satu-satunya yang merupakan tulang punggung saya untuk mendapatkan nafkah telah mati. Harus kemana saya bisa mendapatkan uang untuk anak istri? Ini adalah musibah yang buruk yang menimpa saya," kata sang pedagang.
Ulama itu lalu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Sehingga pedagang sayur yang mendengar jawaban ulama merasa bingung, bahkan menganggap ulama tersebut sedang kacau pikirannya.
Namun keesokan harinya, tiba-tiba dihalaman rumah pedagang, muncul seekor kuda yang masih muda. Dalam hatinya timbul pertanyaan,"Ini kuda siapa?." Ia pun menangkap kuda itu. Maka bahagialah pedagang ini. Kuda yang ditangkapnya lebih muda, kekar dan sehat dibandingkan kudanya yang mati.
Ia datang kembali kepada ulama dan berkata,"Kyai, maafkan saya ternyata ucapan kyai benar. Sekarang saya mempunyai kuda yang lebih baik dibandingkan kuda saya yang dulu. Bukankah ini adalah hal yang terbaik yang saya dapatkan?."
Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Pedagang itu kecewa dengan ucapan sang ulama. Dia pun pulang sambil geleng-geleng kepala. "Ulama itu pasti sedang stres batinnya." gumam pedagang.
Beberapa hari kemudian, anaknya yang masih muda mencoba menaiki kuda baru itu. dia jatuh dan kakinya diinjak oleh kuda. Akibatnya kaki anaknya patah. Betapa kecewa dan sedihnya pedagang itu karena anak lelakinya yang diharapkan menjadi penerus usahanya, kakinya kini lumpuh. Pedagang ini pun kembali mendatangi sang ulama dan berkata, "kyai, saat ini saya benar-benar mendapat musibah, anak saya kini tak bisa membantu usaha saya. Sekarang kakinya lumpuh tak bisa bergerak. Kini kyai pasti setuju musibah ini adalah hal terburuk yang saya alami."
Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." mendengar ucapan kyai pedagang kembali kecewa. Dan bahkan sekarang merasa marah. Dia pun pulang sambil menggerutu.
Sebulan kemudian, kerajaan dinegara tersebut berperang dengan kerajaan lain. Dikarenakan kekurangan tentara, kerajaan mewajibkan setiap pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh anak pedagang itu dibebaskan dari kewajiban itu. Kini sang pedagang bersyukur, dan mengerti maksud dari ucapan ulama bijaksana itu.
Demikian manusia, sering terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Padahal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita, dan hal yang kita benci belum tentu buruk untuk kita.
Sumber: Catatan 30 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar