"Kearifan Rumah Tangga"
Kalimah dalam QS Ar Rum 21 “an kholaqo lakum min anfusikum” menegaskan bahwa meskipun jenis berbeda namun asal semua adalah sama yaitu “dari dirimu sendiri”. Ini artinya bahwa ada titik temu. Memang tak bisa dipungkiri istri maupun suami memiliki latar belakang, pendidikan, watak, ataupun pengalaman yang berbeda satu sama lain.
Bagi mereka yang tidak berangkat dari “ayat” maka perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi eksplosif yang akan saling mendestruksi. Sebaliknya “ayat” mengingatkan bahwa ditengah perbedaan yang banyak maka persamaan itu tetap ada. Keadaan ini merupakan fondasi utama. Ketika merasa ada yang tak disukai dari pasangan, maka ingatlah apa apa yang disukai dari pasangan kita tersebut. Sewaktu keputusan diambil untuk siap menikah dengannya, maka saat itu telah ada komitmen berupa kecintaan dan kesukaan.
Terjadinya perceraian sering disebabkan perbesaran sudut deviasi perbedaan, dramatisasi, dan egoisme. Bahasa yang mengemuka adalah “ketidakcocokkan” padahal sebenarnya bukan faktor perbedaan, melainkan tidak mau dan tak mampunya menemukan persamaan-persamaan yang ada, tidak membangun nostalgia cinta kasih, dan terjebak pada hal hal yang semata pragmatis. Padahal dulu sewaktu menikah, idealisme begitu kuat untuk mengikatkan tali kebersamaan dalam berumahtangga. Bahasanya sehidup semati, katanya.
Berumah tangga harus pandai-pandai membaca peristiwa. Bila diberi kesenangan berupa rezeki yang banyak maka itu harus direspons sebagai ujian.Begitu juga bila ditimpa mushibah atau keadaan yang sulit, maka disikapi dengan sabar dengan selalu mencari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Dengan demikian akan ada “kearifan rumahtangga”. Hal ini tentu sangat berguna untuk membangun harmoni dan relaksasi.
Ada tiga hal penting dalam membangun kearifan rumah tangga, yaitu:
(1) Pertama, menggenggam Alquran. Alquran merupakan “bacaan harian” yang tetap menjadi pedoman dan panduan. Ayat-ayat-Nya adalah penenang dari hiruk pikuk kebutuhan hidup yang tak pernah habis, penyejuk dari panasnya hawa persaingan ekonomi dan sosial yang dapat mengguncang perkawinan, obat dari penyakit-penyakit hati, serta pendorong untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amaliah.
Alquran adalah tempat kembali pasangan suami istri yang renggang silaturahmi, penguat mereka yang frustrasi, serta pengendali dari segala emosi, ambisi, dan watak menuhankan harga diri. Alquran adalah hidayah bagi orang-orang yang bertakwa “hudan lil muttaqien”.
Jauh dari Alquran akan menyebabkan jauh nya dari hidayah Allah. Umat Muhammad yang menjauh dari Quran sama dengan telah menyakiti Rosul-Nya sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Furqan 30 “Dan Rasul (Muhammad) berkata: Ya Rabb-ku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Quran ini sesuatu yang disia-siakan” .
(2) Kedua, Ikut rujukan Nabi baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Sunnah adalah cahaya bagi rumah tangga. Rumah tangga yang terang oleh cahaya akan penuh dengan kejujuran, keterbukaan, dan tenggangrasa, hangat dan gembira. Wajah yang ada didalamnya bening dan ceria.
Pandangannya jauh ke depan dengan penuh keyakinan dan kepastian. Sebaliknya mereka yang tak mengenal pada sunnahnya, maka rumah tangga itu penuh dengan kepalsuan, prasangka, dingin dan curiga. Rentan dengan konflik dan tak bermasa depan. Tidak merasakan indahnya iman dalam hati serta dekat dengan kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.
(3) Ketiga, menjadikan masing masingnya sebagai pakaian. Fungsi pakaian itu sebagai sarana untuk menutup aurat. Suami menjadi penutup aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Segala kelemahan, keburukan, dan cacat-cacat yang ada pada istri haruslah disimpan dan ditutupi. Begitu juga kejelekan yang ada pada suami harus ditutupi pula oleh istrinya.
Janganlah menjadi suami atau istri yang terbiasa kesana kesini menceritakan atau mengadukan keburukan pasangannya, apalagi sampai seperti tak ada lagi kebaikan yang ada pada pasangannya tersebut. Oleh karena itu Nabi senantiasa berdo’a “Wahai Allah tutuplah aib kami dengan sutrah (hijab) mu yang sangat indah”.
Seburuk buruk manusia adalah yang pada siang hari menceritrakan apa yang dilakukan pada malam hari dengan suami/istrinya sebagaimana Sabda Nabi “sesungguhnya orang terjelek tempatnya dihari kiamat ialah suami yang membukakan rahasia istrinya kepada orang lain tentang soal perkawinan antara keduanya” (HR Muslim).
Mencari titik temu adalah substansi kearifan rumah tangga. Rumah adalah anak tangga untuk naik menuju surga. Jika itu keyakinannya, maka insya Allah elemennya akan sabar menjalani kehidupan yang mewarnainya.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Kalimah dalam QS Ar Rum 21 “an kholaqo lakum min anfusikum” menegaskan bahwa meskipun jenis berbeda namun asal semua adalah sama yaitu “dari dirimu sendiri”. Ini artinya bahwa ada titik temu. Memang tak bisa dipungkiri istri maupun suami memiliki latar belakang, pendidikan, watak, ataupun pengalaman yang berbeda satu sama lain.
Bagi mereka yang tidak berangkat dari “ayat” maka perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi eksplosif yang akan saling mendestruksi. Sebaliknya “ayat” mengingatkan bahwa ditengah perbedaan yang banyak maka persamaan itu tetap ada. Keadaan ini merupakan fondasi utama. Ketika merasa ada yang tak disukai dari pasangan, maka ingatlah apa apa yang disukai dari pasangan kita tersebut. Sewaktu keputusan diambil untuk siap menikah dengannya, maka saat itu telah ada komitmen berupa kecintaan dan kesukaan.
Terjadinya perceraian sering disebabkan perbesaran sudut deviasi perbedaan, dramatisasi, dan egoisme. Bahasa yang mengemuka adalah “ketidakcocokkan” padahal sebenarnya bukan faktor perbedaan, melainkan tidak mau dan tak mampunya menemukan persamaan-persamaan yang ada, tidak membangun nostalgia cinta kasih, dan terjebak pada hal hal yang semata pragmatis. Padahal dulu sewaktu menikah, idealisme begitu kuat untuk mengikatkan tali kebersamaan dalam berumahtangga. Bahasanya sehidup semati, katanya.
Berumah tangga harus pandai-pandai membaca peristiwa. Bila diberi kesenangan berupa rezeki yang banyak maka itu harus direspons sebagai ujian.Begitu juga bila ditimpa mushibah atau keadaan yang sulit, maka disikapi dengan sabar dengan selalu mencari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Dengan demikian akan ada “kearifan rumahtangga”. Hal ini tentu sangat berguna untuk membangun harmoni dan relaksasi.
Ada tiga hal penting dalam membangun kearifan rumah tangga, yaitu:
(1) Pertama, menggenggam Alquran. Alquran merupakan “bacaan harian” yang tetap menjadi pedoman dan panduan. Ayat-ayat-Nya adalah penenang dari hiruk pikuk kebutuhan hidup yang tak pernah habis, penyejuk dari panasnya hawa persaingan ekonomi dan sosial yang dapat mengguncang perkawinan, obat dari penyakit-penyakit hati, serta pendorong untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amaliah.
Alquran adalah tempat kembali pasangan suami istri yang renggang silaturahmi, penguat mereka yang frustrasi, serta pengendali dari segala emosi, ambisi, dan watak menuhankan harga diri. Alquran adalah hidayah bagi orang-orang yang bertakwa “hudan lil muttaqien”.
Jauh dari Alquran akan menyebabkan jauh nya dari hidayah Allah. Umat Muhammad yang menjauh dari Quran sama dengan telah menyakiti Rosul-Nya sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Furqan 30 “Dan Rasul (Muhammad) berkata: Ya Rabb-ku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Quran ini sesuatu yang disia-siakan” .
(2) Kedua, Ikut rujukan Nabi baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Sunnah adalah cahaya bagi rumah tangga. Rumah tangga yang terang oleh cahaya akan penuh dengan kejujuran, keterbukaan, dan tenggangrasa, hangat dan gembira. Wajah yang ada didalamnya bening dan ceria.
Pandangannya jauh ke depan dengan penuh keyakinan dan kepastian. Sebaliknya mereka yang tak mengenal pada sunnahnya, maka rumah tangga itu penuh dengan kepalsuan, prasangka, dingin dan curiga. Rentan dengan konflik dan tak bermasa depan. Tidak merasakan indahnya iman dalam hati serta dekat dengan kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.
(3) Ketiga, menjadikan masing masingnya sebagai pakaian. Fungsi pakaian itu sebagai sarana untuk menutup aurat. Suami menjadi penutup aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Segala kelemahan, keburukan, dan cacat-cacat yang ada pada istri haruslah disimpan dan ditutupi. Begitu juga kejelekan yang ada pada suami harus ditutupi pula oleh istrinya.
Janganlah menjadi suami atau istri yang terbiasa kesana kesini menceritakan atau mengadukan keburukan pasangannya, apalagi sampai seperti tak ada lagi kebaikan yang ada pada pasangannya tersebut. Oleh karena itu Nabi senantiasa berdo’a “Wahai Allah tutuplah aib kami dengan sutrah (hijab) mu yang sangat indah”.
Seburuk buruk manusia adalah yang pada siang hari menceritrakan apa yang dilakukan pada malam hari dengan suami/istrinya sebagaimana Sabda Nabi “sesungguhnya orang terjelek tempatnya dihari kiamat ialah suami yang membukakan rahasia istrinya kepada orang lain tentang soal perkawinan antara keduanya” (HR Muslim).
Mencari titik temu adalah substansi kearifan rumah tangga. Rumah adalah anak tangga untuk naik menuju surga. Jika itu keyakinannya, maka insya Allah elemennya akan sabar menjalani kehidupan yang mewarnainya.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar