"Cinta Karena Allah"
Bagaimana Ikhwan dan Akhwat saling mencinta
Hanya ada dua macam cinta. Yang pertama, cinta yang syar’i, yaitu cinta yang disebabkan karena Allah. Yang kedua, cinta yang ghairu syar’i, yaitu cinta yang disebabkan oleh selain Allah.
Cinta yang syar’i ini diperintahkan dalam Islam, bahkan ia menjadi syarat kesempurnaan iman. Tengok Hadits Arbain ke-13 berikut ini, Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam. Dari Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam, beliau bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan cinta jenis yang kedua itu batil dan tidak memberi manfaat, bahkan ia adalah sifat orang-orang musyrik. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (Q.S. Al Baqoroh 125)
Lihat, dalam ayat itu Allah tidak menyebut orang-orang musyrik sebagai orang yang sama sekali tidak mencintai-Nya, tetapi mereka itu mencintai yang lain sebagaimana mereka mencintai Allah! Kalo mencintai sesuatu dengan kadar cinta yang sama kepada Allah saja nggak boleh, apalagi mencintai sesuatu lebih dari cinta kita kepada Allah?! Antum bisa lihat Q.S. At Taubah: 24 untuk mendapat jawabannya.
Dari sini kita mendapat satu kaidah bahwa dalam saling mencinta, orang-orang mukmin tidak boleh keluar dari koridor ’cinta karena Allah’. Maksudnya, kita mencintai sesuatu atau seseorang karena hal-hal berikut ini:
- Allah memerintahkan kita untuk mencintainya
- Allah mencintainya
- Mendekatkan kita pada Allah
- Dalam batasan yang Allah tetapkan
- Agar kita dicintai Allah
- dan alasan lain setipe dengan lima hal di atas
Akibatnya, aplikasi dari kata ’mencintai’ ini menjadi berbeda-beda tergantung dari obyek cinta yang dimaksud.
Kalau obyek cinta ini adalah saudara seiman yang sesama jenis (maksudnya ikhwan dengan ikhwan; akhwat dengan akhwat) maka pengekspresiannya bisa lebih bebas.
Seorang sahabat pernah cerita ke Rasulullah kalo dia mencintai saudaranya seiman karena ketaatannya pada Allah, maka Rasulullah menyuruhnya menyampaikan perasaan itu agar cinta di antara mereka semakin bertambah.
Nah, untuk cinta jenis ini maka sering-sering SMS tausiyah, missed call tahajud, kirim hadiah, nonton bareng, ngaji bareng, nginep ke rumah dan berbagai kegiatan mubah dalam rangka mengukuhkan ikatan itu sangat dianjurkan. Dalam cinta jenis ini tentu syahwat sama sekali tidak ikut campur, lha kan sesama jenis. Kalo keduanya homoseks itu lain soal, he..he.. Hukumnya tentu haram dan tidak masuk kategori cinta yang saya maksudkan di atas.
Lain lagi kalo obyek cinta ini adalah suami atau istri kita yang telah sah. Maka pengekspresian cinta lebih bebas lagi. Syahwat, dalam cinta ini tidak dilarang. Bahkan ini
adalah saat dimana syahwat bisa dimanfaatkan sebagai ladang pahala.
Bagaimana tidak? Lha wong memberi nafkah batin pada istri itu bernilai sedekah! Pun demikian, bukan berarti tanpa batas. Islam masih mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh sepasang suami istri. Misalnya, berhubungan di tempat umum, menyetubuhi istri dari belakang, menceritakan ke orang ketiga tentang hubungan yang dijalani dengan istrinya, dll. Saya harap antum nggak berpikiran ’ngeres’ dan segera kembali konsentrasi karena kita akan segera membahas jenis cinta yang lebih dekat dengan keseharian kita sebagai jomblo-jomblo bahagia.
Antum sudah tahu apa yang akan saya sampaikan bukan? Benar, ini adalah cinta antara ikhwan dan akhwat yang belum terikat oleh pernikahan. Dengan kata lain, keduanya masih jomblo. Bagaimana aplikasinya? Kalo cinta antara dua insan ini benar-benar karena Allah, tentunya cinta ini berjalan dengan batasan yang Allah tetapkan. Dan batasannya ternyata memang sangat banyak saudara-saudara! Sama aja dengan batasan interaksi antar ikhwan dan akhwat yang selama ini telah kita pelajari, di antaranya:
- Tidak berkhalwat (berdua-duaan, berboncengan) dan tidak di tempat yang sepi
- Menjaga pandangan
- Suaranya tidak dilemah lembutkan (untuk akhwat)
- Tidak berlebihan dalam kualitas dan kuantitas
- Tidak berkomunikasi lebih dari keperluan
- Tidak mengundang fitnah
- Tidak didorong syahwat
- dll
Lho kok susah banget?! Lha emang iya! Apa antum belum pernah denger kalo dunia ini penjara buat orang mukmin dan surga buat orang kafir?! Meski begitu, kalo mau sedikit berpikir dengan logika, antum akan sadar bahwa semua batasan tadi sebenarnya tidak merugikan kita dalam hal apapun! Justru lebih menjaga kehormatan kita. Kalau ada perasaan berat, itu bukan karena ini merugikan, tapi karena ini bertentangan dengan keinginan hawa nafsu kita. Bener kan?
Lalu bolehkan kita berharap lawan jenis kita mendapat kebahagiaan? Khawatir akan keistiqomahannya? Keamanannya? Jawabnya, ya jelas boleh, bahkan harus! Tapi dengan batasan-batasan di atas. Bohong kalo kita bilang kita mencintai Ukhti ”A” karena Allah tapi kita justru berusaha melakukan hal-hal yang dilarang Allah bersamanya. Menjauhkan dia dari jalan Allah dan jutru terjerumus bersamanya dalam dosa.
Di sinilah perlunya kehati-hatian. Contoh-contoh kegiatan yang saya sebut ketika membahas cinta antara ikhwan dengan ikhwan di atas tentu tidak relevan untuk dilakukan dengan saudara kita yang lawan jenis, karena jelas akan mengundang fitnah. Maka cara yang paling aman adalah mendoakannya. Membantu ketika dibutuhkan tentu tidak mengapa, asal memang tidak untuk cari kesempatan dan masih dalam batasan-batasan di atas. Kalau kita ingin mencari di luar itu, kayaknya perlu kita lihat kembali niat kita. Benar karena Allah atau karena yang lainnya?
Indikasi keikhlasan itu kadang amat sederhana kok. Kalo antum bisa rela bahkan bahagia si Ukhti ”A” yang antum cintai karena Allah itu dinikahi orang lain – yang memang pantas untuknya- berarti antum bener-bener ikhlas. Tapi kalo antum kecewa dan ngotot ingin memilikinya dengan mengungkit-ungkit semua kebaikan yang telah antum berikan padanya, maka pada saat itu saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa antum telah tertipu. Antum baru saja menukar akherat antum dengan dunia yang belum tentu antum dapat (soalnya bisa aja si Ukhti tetep menolak, karena antum bukan tipenya, he..he..).
Jadi ikhwah fillah, cintailah seluruh saudara-saudarimu karena Allah. Berikan yang terbaik yang bisa antum berikan pada mereka, tanpa mengharap balasan dari mereka sedikitpun. Sedikitpun tidak! Bahkan tidak walau sekedar ucapan terima kasih atau senyuman.
Berharaplah bahwa Allah lah yang akan membalas semua kebaikan itu dengan sempurna. Berharaplah pada senyuman Allah saja. Hauslah akan cinta-Nya saja.
Seperti Wahsyi yang rela pergi dari hadapan Rasulullah yang amat ia cintai, karena ia tahu kehadirannya di dekat Rasulullah hanya akan menambah perih luka hati Rasulullah atas pembunuhan Hamzah.
sumber : http://mencarimakna.wordpress.com/
Bagaimana Ikhwan dan Akhwat saling mencinta
Hanya ada dua macam cinta. Yang pertama, cinta yang syar’i, yaitu cinta yang disebabkan karena Allah. Yang kedua, cinta yang ghairu syar’i, yaitu cinta yang disebabkan oleh selain Allah.
Cinta yang syar’i ini diperintahkan dalam Islam, bahkan ia menjadi syarat kesempurnaan iman. Tengok Hadits Arbain ke-13 berikut ini, Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam. Dari Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallaam, beliau bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan cinta jenis yang kedua itu batil dan tidak memberi manfaat, bahkan ia adalah sifat orang-orang musyrik. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (Q.S. Al Baqoroh 125)
Lihat, dalam ayat itu Allah tidak menyebut orang-orang musyrik sebagai orang yang sama sekali tidak mencintai-Nya, tetapi mereka itu mencintai yang lain sebagaimana mereka mencintai Allah! Kalo mencintai sesuatu dengan kadar cinta yang sama kepada Allah saja nggak boleh, apalagi mencintai sesuatu lebih dari cinta kita kepada Allah?! Antum bisa lihat Q.S. At Taubah: 24 untuk mendapat jawabannya.
Dari sini kita mendapat satu kaidah bahwa dalam saling mencinta, orang-orang mukmin tidak boleh keluar dari koridor ’cinta karena Allah’. Maksudnya, kita mencintai sesuatu atau seseorang karena hal-hal berikut ini:
- Allah memerintahkan kita untuk mencintainya
- Allah mencintainya
- Mendekatkan kita pada Allah
- Dalam batasan yang Allah tetapkan
- Agar kita dicintai Allah
- dan alasan lain setipe dengan lima hal di atas
Akibatnya, aplikasi dari kata ’mencintai’ ini menjadi berbeda-beda tergantung dari obyek cinta yang dimaksud.
Kalau obyek cinta ini adalah saudara seiman yang sesama jenis (maksudnya ikhwan dengan ikhwan; akhwat dengan akhwat) maka pengekspresiannya bisa lebih bebas.
Seorang sahabat pernah cerita ke Rasulullah kalo dia mencintai saudaranya seiman karena ketaatannya pada Allah, maka Rasulullah menyuruhnya menyampaikan perasaan itu agar cinta di antara mereka semakin bertambah.
Nah, untuk cinta jenis ini maka sering-sering SMS tausiyah, missed call tahajud, kirim hadiah, nonton bareng, ngaji bareng, nginep ke rumah dan berbagai kegiatan mubah dalam rangka mengukuhkan ikatan itu sangat dianjurkan. Dalam cinta jenis ini tentu syahwat sama sekali tidak ikut campur, lha kan sesama jenis. Kalo keduanya homoseks itu lain soal, he..he.. Hukumnya tentu haram dan tidak masuk kategori cinta yang saya maksudkan di atas.
Lain lagi kalo obyek cinta ini adalah suami atau istri kita yang telah sah. Maka pengekspresian cinta lebih bebas lagi. Syahwat, dalam cinta ini tidak dilarang. Bahkan ini
adalah saat dimana syahwat bisa dimanfaatkan sebagai ladang pahala.
Bagaimana tidak? Lha wong memberi nafkah batin pada istri itu bernilai sedekah! Pun demikian, bukan berarti tanpa batas. Islam masih mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh sepasang suami istri. Misalnya, berhubungan di tempat umum, menyetubuhi istri dari belakang, menceritakan ke orang ketiga tentang hubungan yang dijalani dengan istrinya, dll. Saya harap antum nggak berpikiran ’ngeres’ dan segera kembali konsentrasi karena kita akan segera membahas jenis cinta yang lebih dekat dengan keseharian kita sebagai jomblo-jomblo bahagia.
Antum sudah tahu apa yang akan saya sampaikan bukan? Benar, ini adalah cinta antara ikhwan dan akhwat yang belum terikat oleh pernikahan. Dengan kata lain, keduanya masih jomblo. Bagaimana aplikasinya? Kalo cinta antara dua insan ini benar-benar karena Allah, tentunya cinta ini berjalan dengan batasan yang Allah tetapkan. Dan batasannya ternyata memang sangat banyak saudara-saudara! Sama aja dengan batasan interaksi antar ikhwan dan akhwat yang selama ini telah kita pelajari, di antaranya:
- Tidak berkhalwat (berdua-duaan, berboncengan) dan tidak di tempat yang sepi
- Menjaga pandangan
- Suaranya tidak dilemah lembutkan (untuk akhwat)
- Tidak berlebihan dalam kualitas dan kuantitas
- Tidak berkomunikasi lebih dari keperluan
- Tidak mengundang fitnah
- Tidak didorong syahwat
- dll
Lho kok susah banget?! Lha emang iya! Apa antum belum pernah denger kalo dunia ini penjara buat orang mukmin dan surga buat orang kafir?! Meski begitu, kalo mau sedikit berpikir dengan logika, antum akan sadar bahwa semua batasan tadi sebenarnya tidak merugikan kita dalam hal apapun! Justru lebih menjaga kehormatan kita. Kalau ada perasaan berat, itu bukan karena ini merugikan, tapi karena ini bertentangan dengan keinginan hawa nafsu kita. Bener kan?
Lalu bolehkan kita berharap lawan jenis kita mendapat kebahagiaan? Khawatir akan keistiqomahannya? Keamanannya? Jawabnya, ya jelas boleh, bahkan harus! Tapi dengan batasan-batasan di atas. Bohong kalo kita bilang kita mencintai Ukhti ”A” karena Allah tapi kita justru berusaha melakukan hal-hal yang dilarang Allah bersamanya. Menjauhkan dia dari jalan Allah dan jutru terjerumus bersamanya dalam dosa.
Di sinilah perlunya kehati-hatian. Contoh-contoh kegiatan yang saya sebut ketika membahas cinta antara ikhwan dengan ikhwan di atas tentu tidak relevan untuk dilakukan dengan saudara kita yang lawan jenis, karena jelas akan mengundang fitnah. Maka cara yang paling aman adalah mendoakannya. Membantu ketika dibutuhkan tentu tidak mengapa, asal memang tidak untuk cari kesempatan dan masih dalam batasan-batasan di atas. Kalau kita ingin mencari di luar itu, kayaknya perlu kita lihat kembali niat kita. Benar karena Allah atau karena yang lainnya?
Indikasi keikhlasan itu kadang amat sederhana kok. Kalo antum bisa rela bahkan bahagia si Ukhti ”A” yang antum cintai karena Allah itu dinikahi orang lain – yang memang pantas untuknya- berarti antum bener-bener ikhlas. Tapi kalo antum kecewa dan ngotot ingin memilikinya dengan mengungkit-ungkit semua kebaikan yang telah antum berikan padanya, maka pada saat itu saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa antum telah tertipu. Antum baru saja menukar akherat antum dengan dunia yang belum tentu antum dapat (soalnya bisa aja si Ukhti tetep menolak, karena antum bukan tipenya, he..he..).
Jadi ikhwah fillah, cintailah seluruh saudara-saudarimu karena Allah. Berikan yang terbaik yang bisa antum berikan pada mereka, tanpa mengharap balasan dari mereka sedikitpun. Sedikitpun tidak! Bahkan tidak walau sekedar ucapan terima kasih atau senyuman.
Berharaplah bahwa Allah lah yang akan membalas semua kebaikan itu dengan sempurna. Berharaplah pada senyuman Allah saja. Hauslah akan cinta-Nya saja.
Seperti Wahsyi yang rela pergi dari hadapan Rasulullah yang amat ia cintai, karena ia tahu kehadirannya di dekat Rasulullah hanya akan menambah perih luka hati Rasulullah atas pembunuhan Hamzah.
sumber : http://mencarimakna.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar