"Ngelus Dada, Melihatnya"
Sobat! Mungkin anda pernah berkata: ngelus dada, melihatnya! Ucapan ini anda ucapkan ketika melihat orang lain yang sedang menderita dan penderitaannya begitu besar untuk anda bayangkan. Bukankah demikian?
Suatu saat saya mendengarkan seseorang bercerita tentang seorang ahli ibadah, namun hidup dalam kemiskinan yang sangat. Orang yang bercerita seakan tidak kuasa untuk sekedar untuk menceritakan kisah orang tersebut secara terperinci. Dan akhirnya ia berkata: setiap mengingat kondisi orang tersebut, saya hanya bisa mengelus dada! Ibadahnya tekun, ngajinya pinter, namun hidupnya sangat miskin.
Cerita yang terdengar pilu dan bahkan seakan menyayat hati setiap insan yang mendengarnya. Namun demikian, suatu saat saya termenung memikirkan kisah tersebut. Mengapa kita begitu tersentuh dan iba sehingga mengelus dada, karena menyaksikan orang sholeh namun miskin?
Akan tetapi, di saat lain, sikap tersebut benar benar sirna. Kita terkagum kagum melihat orang yang tampan atau cantik rupawan, dan kaya raya, namun bergelimang dalam kekufuran atau kemaksiatan?
Bukankah, derita yang menanti pelaku dosa dan kekufuran lebih besar dibanding derita yang dipikul oleh orang miskin?
Seberat apapun derita orang sholeh, maka itu hanya sesaat! Tidak lama lagi akan berganti dengan kenikmatan yang tiada tara dan tiada kira. Seberat apapun deritanya di dunia, maka sekejap terlupakan sejak ia menginjakkan kakinya di pintu surga.
Namun sebahagia apapun orang kaya, cantik jelita dan tampan rupawan, namun fasik atau bahkan kafir maka itu hanya sesaat dan segera berganti dengan siksa neraka. Semua kenikmatan yang pernah mereka dapatkan di dunia pasti terlupakan sejak pertama kali merasakan sengatan siksa di neraka. Demikianlah dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Muslim.
Mungkinkah sikap kita ini mencerminkan betapa lemahnya kadar iman kita yang masih silau dengan gemerlap kemewahan dunia dan minder atau malu dengan kebahagiaan jiwa orang beriman di dunia hingga di akhirat?
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badr
Sobat! Mungkin anda pernah berkata: ngelus dada, melihatnya! Ucapan ini anda ucapkan ketika melihat orang lain yang sedang menderita dan penderitaannya begitu besar untuk anda bayangkan. Bukankah demikian?
Suatu saat saya mendengarkan seseorang bercerita tentang seorang ahli ibadah, namun hidup dalam kemiskinan yang sangat. Orang yang bercerita seakan tidak kuasa untuk sekedar untuk menceritakan kisah orang tersebut secara terperinci. Dan akhirnya ia berkata: setiap mengingat kondisi orang tersebut, saya hanya bisa mengelus dada! Ibadahnya tekun, ngajinya pinter, namun hidupnya sangat miskin.
Cerita yang terdengar pilu dan bahkan seakan menyayat hati setiap insan yang mendengarnya. Namun demikian, suatu saat saya termenung memikirkan kisah tersebut. Mengapa kita begitu tersentuh dan iba sehingga mengelus dada, karena menyaksikan orang sholeh namun miskin?
Akan tetapi, di saat lain, sikap tersebut benar benar sirna. Kita terkagum kagum melihat orang yang tampan atau cantik rupawan, dan kaya raya, namun bergelimang dalam kekufuran atau kemaksiatan?
Bukankah, derita yang menanti pelaku dosa dan kekufuran lebih besar dibanding derita yang dipikul oleh orang miskin?
Seberat apapun derita orang sholeh, maka itu hanya sesaat! Tidak lama lagi akan berganti dengan kenikmatan yang tiada tara dan tiada kira. Seberat apapun deritanya di dunia, maka sekejap terlupakan sejak ia menginjakkan kakinya di pintu surga.
Namun sebahagia apapun orang kaya, cantik jelita dan tampan rupawan, namun fasik atau bahkan kafir maka itu hanya sesaat dan segera berganti dengan siksa neraka. Semua kenikmatan yang pernah mereka dapatkan di dunia pasti terlupakan sejak pertama kali merasakan sengatan siksa di neraka. Demikianlah dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Muslim.
Mungkinkah sikap kita ini mencerminkan betapa lemahnya kadar iman kita yang masih silau dengan gemerlap kemewahan dunia dan minder atau malu dengan kebahagiaan jiwa orang beriman di dunia hingga di akhirat?
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar