"Tarif Listrik Kian Melangit, Nasib Rakyat Kian Terjepit"
Ditengah krisis listrik yang menimpa hampir di seluruh negeri ini, ternyata Pemerintah tetap ‘bersemangat’ kembali menaikkan tarif tenaga listrik (TTL). Kenaikan TTL dikenakan untuk sejumlah golongan, baik pemerintah, rumah tangga, maupun industri, per 1 Juli 2014. Pemerintah menilai kenaikan ini penting untuk mengurangi beban anggaran subsidi yang terus membengkak. Sebagaimana ditegaskan oleh Direktur, Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman “Keputusan ini memang pahit bagi golongan tertentu, tapi mengingat sektor kelistrikan perlu diselamatkan, ini harus kami lakukan (Tempo 2/7/2014). Ketua Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL) AP Luat Siahaan, mengatakan kenaikan TTL membuat daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sehingga berdampak pada pengangguran yang semakin tinggi (http://hariansib.co/,7/8/2014).
Ironi Krisis Listrik di Negara Kaya Sumber Energi
Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya dengan segala potensi yang dimilikinya. Tidak ketinggalan potensi sumber energi yang melimpah ruah sebagai karunia dari Allah SWT. Sebut saja sumber energi fosil (minyak, gas dan batu bara). Namun sayang sebagian besar sumber energi primer ini ternyata digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Menurut data Ditjen Migas tahun 2012 total produksi minyak bumi yang diekspor 56,84 %, gas bumi 59,3%, LNG 99,1% dan batu bara 65,4% (http://www.esdm.go.id/). Bahkan Direktur Utama PLN Nur Pamuji mengeluhkan batu bara RI diekspor untuk menerangi negara lain (detikFinance, 10/7/2014).
Ironisnya dibalik gencarnya ekspor migas dan batu bara, Indonesia malah mengalami krisis listrik yang luar biasa. Krisis listrik di Indonesia bukan lagi kasus baru dan bersifat temporal, namun sudah kronis. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan penderitaan pemadaman listrik. Pemadaman tidak hanya bergilir bahkan sudah menjadi agenda rutin.
Setidaknya ada 3 faktor persoalan listrik yang menimpa Indonesia sampai saat ini :
Pertama dari sisi kualitas : Ada daerah yang setiap hari mengalami pemadaman bahkan sampai 3 kali sehari seperti di Sumatera Utara. Kirisis listrik di Sumatera telah melanda sejak 9 tahun terakhir. Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto saat ini Sumatera Utara hanya memiliki pembangkit yang bisa menghasilkan listrik berkapasitas 1.400 megawatt (MW). Sementara kebutuhannya sudah mencapai 1.650 MW (Liputan6.com, 17/3/2014).
Kalimantan yang merupakan lumbung energi tidak luput dari krisis listrik. General Manager PLN wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Machnizon Masri mengatakan, saat ini krisis tersebut telah memasuki status siaga. Akibat defisit daya tersebut maka pemadaman akan terus terjadi (http://www.portalkbr.com,13/5/2014).
Demikian halnya Papua, dalam sehari, pemadaman listrik bisa terjadi dua hingga tiga kali. Padahal menurut Dinas Pertambangan dan Energi setempat, jangkauan listrik baru mencapai 42,8 persen, itu pun sudah merupakan gabungan dari pembangkit listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan non-PLN (Detikfinance, Jumat, 13/12/2013). Sementara Lapangan Tangguh yang terdapat di Papua merupakan lapangan gas terbesar yang telah berproduksi.
Kedua persoalan kuantitas : Sampai saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia masih rendah.Menurut Data Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM menunjukkan, rasio elektrifikasi 80,1 % . Dengan jumlah penduduk Indonesia ± 250 juta artinya ada sekitar 50 juta orang yang masih dalam kegelapan. Saat ini baru 14 provinsi di Indonesia telah memiliki rasio elektrifikasi diatas 60%. Sementara itu, 14 provinsi lainnya memiliki rasio elektrifikasi 41-60%. Bahkan sisanya, yaitu sebanyak 5 provinsi, masih memiliki rasio elektrifikasi 20-40%. Kelima provinsi tersebut yaitu NTB (32,51%), NTT (24,55%), Sultra (38,09%), serta Papua dan Irian Jaya Barat (32,35%).
Faktor ketiga adalah harga listrik mahal : Meski ditengah buruknya layanan listrik oleh PT PLN, hampir tiap tahun TTL terus dinaikkan bahkan pada bulan november 2014 nanti harga listrik diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar alias harga komersil.
Semua permasalahan di atas tentu saja sangat merugikan masyarakat, baik masyarakat umum maupun dunia industri. Kerugian yang diderita masyarakat meliputi materi (kerusakan pada alat2 elektronik, terhentinya usaha kecil seperti jasa fotokopi, sablon dst, kebakaran , dan merogoh kantong lebih dalam lagi karena harus membayar tagihan listrik lebih mahal. Sebagaimana kita ketahui kenaikan TTL per 1 juli total kenaikan hingga bulan november 2014 adalah 38 – 60 %. Dan yang tak kalah penting adalah kerugian immateri yaitu terganggunya waktu belajar, kebisingan akibat jenset , bahkan kematian pasien di rumah sakit. Adapun kerugian yang dialami dunia industri, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanadi kenaikan TTL tersebut bakal menekan Industri dalam negeri, terutama usaha kecil menengah (UKM). (Liputan6.com, 28/6/2014). Dia mengungkapkan kenaikan tarif listrik akan berdampak membengkaknya ongkos produksi perusahaan. Biaya yang dikeluarkan mencapai 30 sampai 60 persen. Efeknya harga jual produk ke konsumen akan meningkat.
Sementara itu menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat sebelumnya, kenaikan tarif listrik dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia, dan membuat menurunnya penyerapan tenaga kerja karena banyak industri yang mengalami kerugian. Bahkan telah terjadi pemecatan sedikitnya terhadap 400 ribu karyawan. Ade melanjutkan, dengan sedikitrnya lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja maka daya beli akan menurun karena tidak ada penghasilan. Dampak lanjutannya yang paling merasakan adalah rakyat miskin dengan kenaikan barang dan jasa yang mungkin dihindari.
Hal hasil dalih pemerintah kenaikan TTL kali ini tidak berimbas pada orang miskin karena tidak dikenakan kepada pelanggan rumah tangga dengan daya 450-900 vA adalah sebuah kebohongan belaka. Justru yang paling merasakan akibat kenaikan TTL adalah orang-orang miskin karena semakin rendahnya kemampuan mereka untuk mengakses barang dan jasa.
Sistem Kapitalis Biang Kerok Krisis Listrik di Indonesia
Menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, kenaikan tarif listrik dilakukan karena terus meningkatnya subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dana subsidi tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur seperti pembangkit listrik, rumah sakit, sekolah, dan jalan raya. Disamping itu karena tingkat elektrifikasi masih rendah maka dibutuhkan dana untuk investasi.
Memang inilah alasan klasik yang senantiasa didengung-dengungkan Pemerintah. Namun alasan ini tentu saja adalah kamuflasi semata. Tiap tahun tarif lisrik dinaikkan namun yang kita rasakan layanan publik tetap buruk. Sementara Pemerintah bisa saja membangun layanan publik yang baik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dengan harga murah bahkan gratis asal memiliki polical will.
Apakah dapat dikatakan subsidi listrik membebani negara jika anggaran sebesar Rp 93,5 T (APBN 2014) digunakan oleh sekitar 250 juta penduduk Indonesia baik masyarakat umum maupun kalangan industri. Coba bandingkan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lebih dari Rp 1000 T yang merupakan utang segelintir orang menjadi beban APBN sampai 2021. Sementara kita tahu bahwa listrik merupakan hajat hidup orang banyak dan urat nadi perekenomian masyarakat.
Adapun keluhan PT PLN (Persero) yang mengaku selalu merugi akibat mensubsidi listrik untuk rakyat sehingga tidak bisa melakukan investasi untuk meningkatkan elektrifikasi tentunya tidak masuk akal. Pada semester pertama 2014 saja BUMN listrik ini berhasil meraup laba bersih Rp 12,345 triliun (detikfinance Selasa, 29/07/2014). Perolehan laba ini naik 158% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Krisis listrik yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan system politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.
Pertama: Liberalisasi sumber energi primer. UU no. 22 tahun 2001 menjadi payung hukum legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia . Akibatnya hampir 80% ladang migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013). Ini pula yang dikeluhkan oleh Direktur Utama PLN Nur Pamudji kepada detikFinance, Kamis (10/7/2014), “Batu bara RI produksinya melimpah tapi digunakan untuk menerangi negara lain” , merupakan buah Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengeloaan diserahkan pada mekanisme bisnis.
Kedua : Liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik. Kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya Kepres No. 37 Tahun 1992. Saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik. Oleh karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Maka sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.
Liberalisasi ini diperkuat dengan UU No. 30 th 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukanunbundling vertikal ( pemecahan secara fungsi,yaitu fungsi pembangkit , transmisi dan distribusi). Dengan demikian pembangkit , transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta .
Meski saat ini PT PLN berstatus perusahaan listrik negara akibat unbundling semua fungsi dilakukan secara komersil. Akibatnya seperti yang terjadi di Filipina yang menggunakan model unbundling harga listriknya termahal di dunia atau di Kamerun, pada beban puncak tarif listrik naik menjadi 5-10 kali lipat.
Jadi akibat liberalisasi ini maka harga listrik akan terus menerus naik namun layanannya semakin buruk .Karena listrik merupakan hajat hidup maka berapapun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya.
Mengingat begitu lamanya krisis listrik yang terjadi , menjadi bukti kelalaian Pemerintah menyelesaikan masalah ini. Rakyat mengalami kesengsaraan yang luar biasa. Seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajad hidup orang banyak , bukan malah diserahkan kepada pihak swasta atau PT PLN untuk dikomersilkan.
Khilafah: Listrik Murah, Berkualitas
Khilafah memiliki aturan yang paripurna, karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. Dalam pandangan Islam listrik merupakan milik umum , dilihat dari 2 aspek:
1.Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ yang merupakan milik umum. Nabi saw bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Termasuk dalam kategori api tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.
2. Sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara merupakan juga milik umum. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:
Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).
Riwayat ini berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti laksana air yang terus mengalir, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh. laksana air yang terus mengalir artinya cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik.
Dengan demikian, listrik tidak boleh pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta apapun alasannya.
Negara bertanggung-jawab, sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah , Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit.
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan [TQS 8:24].
Oleh: Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyah MHTI)
Wallahu a’lam bi shawab. []
Ditengah krisis listrik yang menimpa hampir di seluruh negeri ini, ternyata Pemerintah tetap ‘bersemangat’ kembali menaikkan tarif tenaga listrik (TTL). Kenaikan TTL dikenakan untuk sejumlah golongan, baik pemerintah, rumah tangga, maupun industri, per 1 Juli 2014. Pemerintah menilai kenaikan ini penting untuk mengurangi beban anggaran subsidi yang terus membengkak. Sebagaimana ditegaskan oleh Direktur, Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman “Keputusan ini memang pahit bagi golongan tertentu, tapi mengingat sektor kelistrikan perlu diselamatkan, ini harus kami lakukan (Tempo 2/7/2014). Ketua Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL) AP Luat Siahaan, mengatakan kenaikan TTL membuat daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sehingga berdampak pada pengangguran yang semakin tinggi (http://hariansib.co/,7/8/2014).
Ironi Krisis Listrik di Negara Kaya Sumber Energi
Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya dengan segala potensi yang dimilikinya. Tidak ketinggalan potensi sumber energi yang melimpah ruah sebagai karunia dari Allah SWT. Sebut saja sumber energi fosil (minyak, gas dan batu bara). Namun sayang sebagian besar sumber energi primer ini ternyata digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Menurut data Ditjen Migas tahun 2012 total produksi minyak bumi yang diekspor 56,84 %, gas bumi 59,3%, LNG 99,1% dan batu bara 65,4% (http://www.esdm.go.id/). Bahkan Direktur Utama PLN Nur Pamuji mengeluhkan batu bara RI diekspor untuk menerangi negara lain (detikFinance, 10/7/2014).
Ironisnya dibalik gencarnya ekspor migas dan batu bara, Indonesia malah mengalami krisis listrik yang luar biasa. Krisis listrik di Indonesia bukan lagi kasus baru dan bersifat temporal, namun sudah kronis. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan penderitaan pemadaman listrik. Pemadaman tidak hanya bergilir bahkan sudah menjadi agenda rutin.
Setidaknya ada 3 faktor persoalan listrik yang menimpa Indonesia sampai saat ini :
Pertama dari sisi kualitas : Ada daerah yang setiap hari mengalami pemadaman bahkan sampai 3 kali sehari seperti di Sumatera Utara. Kirisis listrik di Sumatera telah melanda sejak 9 tahun terakhir. Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto saat ini Sumatera Utara hanya memiliki pembangkit yang bisa menghasilkan listrik berkapasitas 1.400 megawatt (MW). Sementara kebutuhannya sudah mencapai 1.650 MW (Liputan6.com, 17/3/2014).
Kalimantan yang merupakan lumbung energi tidak luput dari krisis listrik. General Manager PLN wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Machnizon Masri mengatakan, saat ini krisis tersebut telah memasuki status siaga. Akibat defisit daya tersebut maka pemadaman akan terus terjadi (http://www.portalkbr.com,13/5/2014).
Demikian halnya Papua, dalam sehari, pemadaman listrik bisa terjadi dua hingga tiga kali. Padahal menurut Dinas Pertambangan dan Energi setempat, jangkauan listrik baru mencapai 42,8 persen, itu pun sudah merupakan gabungan dari pembangkit listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan non-PLN (Detikfinance, Jumat, 13/12/2013). Sementara Lapangan Tangguh yang terdapat di Papua merupakan lapangan gas terbesar yang telah berproduksi.
Kedua persoalan kuantitas : Sampai saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia masih rendah.Menurut Data Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM menunjukkan, rasio elektrifikasi 80,1 % . Dengan jumlah penduduk Indonesia ± 250 juta artinya ada sekitar 50 juta orang yang masih dalam kegelapan. Saat ini baru 14 provinsi di Indonesia telah memiliki rasio elektrifikasi diatas 60%. Sementara itu, 14 provinsi lainnya memiliki rasio elektrifikasi 41-60%. Bahkan sisanya, yaitu sebanyak 5 provinsi, masih memiliki rasio elektrifikasi 20-40%. Kelima provinsi tersebut yaitu NTB (32,51%), NTT (24,55%), Sultra (38,09%), serta Papua dan Irian Jaya Barat (32,35%).
Faktor ketiga adalah harga listrik mahal : Meski ditengah buruknya layanan listrik oleh PT PLN, hampir tiap tahun TTL terus dinaikkan bahkan pada bulan november 2014 nanti harga listrik diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar alias harga komersil.
Semua permasalahan di atas tentu saja sangat merugikan masyarakat, baik masyarakat umum maupun dunia industri. Kerugian yang diderita masyarakat meliputi materi (kerusakan pada alat2 elektronik, terhentinya usaha kecil seperti jasa fotokopi, sablon dst, kebakaran , dan merogoh kantong lebih dalam lagi karena harus membayar tagihan listrik lebih mahal. Sebagaimana kita ketahui kenaikan TTL per 1 juli total kenaikan hingga bulan november 2014 adalah 38 – 60 %. Dan yang tak kalah penting adalah kerugian immateri yaitu terganggunya waktu belajar, kebisingan akibat jenset , bahkan kematian pasien di rumah sakit. Adapun kerugian yang dialami dunia industri, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanadi kenaikan TTL tersebut bakal menekan Industri dalam negeri, terutama usaha kecil menengah (UKM). (Liputan6.com, 28/6/2014). Dia mengungkapkan kenaikan tarif listrik akan berdampak membengkaknya ongkos produksi perusahaan. Biaya yang dikeluarkan mencapai 30 sampai 60 persen. Efeknya harga jual produk ke konsumen akan meningkat.
Sementara itu menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat sebelumnya, kenaikan tarif listrik dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia, dan membuat menurunnya penyerapan tenaga kerja karena banyak industri yang mengalami kerugian. Bahkan telah terjadi pemecatan sedikitnya terhadap 400 ribu karyawan. Ade melanjutkan, dengan sedikitrnya lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja maka daya beli akan menurun karena tidak ada penghasilan. Dampak lanjutannya yang paling merasakan adalah rakyat miskin dengan kenaikan barang dan jasa yang mungkin dihindari.
Hal hasil dalih pemerintah kenaikan TTL kali ini tidak berimbas pada orang miskin karena tidak dikenakan kepada pelanggan rumah tangga dengan daya 450-900 vA adalah sebuah kebohongan belaka. Justru yang paling merasakan akibat kenaikan TTL adalah orang-orang miskin karena semakin rendahnya kemampuan mereka untuk mengakses barang dan jasa.
Sistem Kapitalis Biang Kerok Krisis Listrik di Indonesia
Menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, kenaikan tarif listrik dilakukan karena terus meningkatnya subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dana subsidi tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur seperti pembangkit listrik, rumah sakit, sekolah, dan jalan raya. Disamping itu karena tingkat elektrifikasi masih rendah maka dibutuhkan dana untuk investasi.
Memang inilah alasan klasik yang senantiasa didengung-dengungkan Pemerintah. Namun alasan ini tentu saja adalah kamuflasi semata. Tiap tahun tarif lisrik dinaikkan namun yang kita rasakan layanan publik tetap buruk. Sementara Pemerintah bisa saja membangun layanan publik yang baik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dengan harga murah bahkan gratis asal memiliki polical will.
Apakah dapat dikatakan subsidi listrik membebani negara jika anggaran sebesar Rp 93,5 T (APBN 2014) digunakan oleh sekitar 250 juta penduduk Indonesia baik masyarakat umum maupun kalangan industri. Coba bandingkan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lebih dari Rp 1000 T yang merupakan utang segelintir orang menjadi beban APBN sampai 2021. Sementara kita tahu bahwa listrik merupakan hajat hidup orang banyak dan urat nadi perekenomian masyarakat.
Adapun keluhan PT PLN (Persero) yang mengaku selalu merugi akibat mensubsidi listrik untuk rakyat sehingga tidak bisa melakukan investasi untuk meningkatkan elektrifikasi tentunya tidak masuk akal. Pada semester pertama 2014 saja BUMN listrik ini berhasil meraup laba bersih Rp 12,345 triliun (detikfinance Selasa, 29/07/2014). Perolehan laba ini naik 158% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Krisis listrik yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan system politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.
Pertama: Liberalisasi sumber energi primer. UU no. 22 tahun 2001 menjadi payung hukum legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia . Akibatnya hampir 80% ladang migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013). Ini pula yang dikeluhkan oleh Direktur Utama PLN Nur Pamudji kepada detikFinance, Kamis (10/7/2014), “Batu bara RI produksinya melimpah tapi digunakan untuk menerangi negara lain” , merupakan buah Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengeloaan diserahkan pada mekanisme bisnis.
Kedua : Liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik. Kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya Kepres No. 37 Tahun 1992. Saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik. Oleh karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Maka sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.
Liberalisasi ini diperkuat dengan UU No. 30 th 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukanunbundling vertikal ( pemecahan secara fungsi,yaitu fungsi pembangkit , transmisi dan distribusi). Dengan demikian pembangkit , transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta .
Meski saat ini PT PLN berstatus perusahaan listrik negara akibat unbundling semua fungsi dilakukan secara komersil. Akibatnya seperti yang terjadi di Filipina yang menggunakan model unbundling harga listriknya termahal di dunia atau di Kamerun, pada beban puncak tarif listrik naik menjadi 5-10 kali lipat.
Jadi akibat liberalisasi ini maka harga listrik akan terus menerus naik namun layanannya semakin buruk .Karena listrik merupakan hajat hidup maka berapapun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya.
Mengingat begitu lamanya krisis listrik yang terjadi , menjadi bukti kelalaian Pemerintah menyelesaikan masalah ini. Rakyat mengalami kesengsaraan yang luar biasa. Seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajad hidup orang banyak , bukan malah diserahkan kepada pihak swasta atau PT PLN untuk dikomersilkan.
Khilafah: Listrik Murah, Berkualitas
Khilafah memiliki aturan yang paripurna, karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia dan semesta alam ini. Dalam pandangan Islam listrik merupakan milik umum , dilihat dari 2 aspek:
1.Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ yang merupakan milik umum. Nabi saw bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Termasuk dalam kategori api tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.
2. Sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara merupakan juga milik umum. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:
Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).
Riwayat ini berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti laksana air yang terus mengalir, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh. laksana air yang terus mengalir artinya cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik.
Dengan demikian, listrik tidak boleh pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta apapun alasannya.
Negara bertanggung-jawab, sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah , Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit.
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan [TQS 8:24].
Oleh: Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyah MHTI)
Wallahu a’lam bi shawab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar