Sabtu, 21 Juni 2014

"Tolonglah Agama Ini, Saudari!"

"Tolonglah Agama Ini, Saudari !!!"




"Apakah kamu bersaksi tidak ada tuhan selain Allah? Apakah kamu paham maknanya? Dia bukan kata-kata yang hanya diucapkan di mulut, tapi butuh pembenaran dan pengamalan."

Gadis ini mengajariku pelajaran paling sulit dalam hidup. Hatiku bergetar, perasaanku tunduk pada kata-katanya.
Kemudian dia menjabat tanganku sambil berkata, "Saudari, tolonglah agama ini!!!"



Susie Mazhar mempunyai pengalaman lebih dari dua puluh tahun dalam bidang dakwah di jalan Allah. Namanya berkaitan erat dengan para artis yang bertobat. Dia mempunyai andil besar dalam berdakwah di tengah-tengah mereka. Dia menceritakan kisah pertobatannya sebagai berikut.

Aku lulusan dari sekolah Mardi Dieye kemudian di jurusan jurnalistik di fakultas seni. Aku tinggal bersama nenek, ibu dari seniman Ahmed Mazhar; dia adalah pamanku. Aku suka berjalan di gang-gang Zamalek dan di klub-klub, seolah-olah aku memamerkan kecantikanku di depan mata lelaki di bawah "kebebasan" dan "modernitas". Nenek yang sudah tua tidak kuat menjagaku, bahkan ayah dan ibuku juga. Anak-anak orang berada memang begini kehidupannya, seperti binatang, bahkan lebih parah, kecuali orang yang Allah sayangi.

Hakikatnya, aku hidup dalam ketidaksadaran tentang Islam, kecuali huruf dan kalimat-kalimatnya. Meskipun aku memiliki harta dan kehormatan, aku takut akan satu hal, yaitu sumber gas dan listrik. Aku menyangka Allah membakarku sebagai balasan maksiat yang aku lakukan. Aku selalu berbisik dalam hati, "Nenekku ketika sakit, tetap shalat. Bagaimana besok aku bisa selamat dari siksa Allah?" Aku segera lari dari memaki diri dengan cara tidur atau pergi ke klub.

Tatkala aku menikah, aku dan suami pergi ke Prancis untuk berbulan madu. Yang menjadi perhatianku di sana adalah, ketika aku pergi ke Vatikan di Roma dan ketika aku hendak masuk ke museum Paus, mereka (para petugas) memaksaku untuk mengenakan jaket kulit hitam (Balto) yang ada di depan pintu. Beginilah mereka menghargai agama mereka yang sudah diselewengkan. Di sini aku bertanya-tanya dengan suara rendah, "Terus mengapa kami tidak menghargai agama kami?"

Di tengah gelombang kebahagiaanku yang palsu, aku berkata kepada suami, "Aku hendak shalat, sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat-Nya."
"Terserah kamu, ini adalah kebebasan pribadi," jawab suamiku.

Sebelum pergi, aku membawa beberapa potong pakaian panjang dan tutup kepala. Aku masuk ke masjid besar di Paris. Lalu aku menunaikan shalat. Setelah selasai shalat dan kala di pintu masjid, aku mencopot tutup kepala dan membuka pakaian panjang yang aku kenakan, aku hendak menaruhnya di tas.

Tiba-tiba, ada seorang gadis Prancis bermata biru yang tidak pernah aku lupakan selamanya mendekatiku, dia mengenakan hijab. Dia memegang tanganku dengan lembut dan menepuk pundakku, "Kenapa kamu hendak melepas hijab? Apakah kamu tidak tahu bahwa itu adalah perintah Allah?" katanya dengan suara rendah.

Aku mendengarkannya dalam keadaan terpaku. Dia mengajakku masuk ke dalam masjid beberapa menit. Aku mencoba mengelak, namun tata kramanya yang sopan dan bahasanya yang lembut memaksaku untuk masuk.

"Apakah kamu bersaksi tidak ada tuhan selain Allah? Apakah kamu paham maknanya? Dia bukan kata-kata yang hanya diucapkan di mulut, tapi butuh pembenaran dan pengamalan."

Gadis ini mengajariku pelajaran paling sulit dalam hidup. Hatiku bergetar, perasaanku tunduk pada kata-katanya.
Kemudian dia menjabat tanganku sambil berkata, "Saudari, tolonglah agama ini!!!"

Aku keluar dari masjid sambil termenung. Aku tidak menyadari keadaan di sekitarku. Kebetulan hari itu, suamiku mengajakku ke Cabaret, yaitu tempat prostitusi di mana laki- laki dan perempuan menari semi telanjang. Perbuatan mereka seperti binatang, bahkan binatang lebih mulia daripada mereka. Mereka melepas pakaian satu demi satu sesuai dengan ritme irama musik. Aku benci mereka dan benci diriku sendiri yang hanyut dalam kesesatan. Aku tidak melihat kepada mereka dan tidak menyadari orang-orang yang ada di sekitarku. Aku meminta kepada suamiku untuk keluar sehingga aku bisa bernapas.

Aku kembali ke Kairo. Aku memulai langkah pertama untuk mengenal Islam. Walaupun aku bergelimangan harta, aku tidak mengenal ketenangan dan kebahagiaan. Aku merasa dekat dengan ketenteraman, setiap aku shalat dan membaca Al- Quran. Aku mengasingkan diri dari kehidupan jahiliah yang ada di sekitarku. Aku senang membaca Al-Quran siang dan malam. Aku membawa buku-buku Ibnu Katsir, Sayyid Quthub, dan buku-buku lain. Aku duduk berjam-jam di kamar membaca dengan rasa rindu dan senang. Aku membaca banyak buku. Aku meninggalkan kehidupan klub dan begadang yang menyesatkan.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa akhwat sesama muslimah. Awalnya, suamiku menolak dengan keras terhadap hijabku dan pengasinganku dari kehidupan jahiliah. Aku tidak lagi bergaul dan bercampur dengan para lelaki baik dari kerabat maupun orang lain. Aku tidak lagi berjabat tangan dengan pria.

Ini adalah cobaan dari Allah. Namun langkah pertama keimanan adalah pasrah kepada Allah dan hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai daripada yang lain. Banyak masalah yang hampir membuatku bercerai dengan suami. Tetapi alhamdulillah, Allah menakdirkan adanya Islam di dalam rumah kecil kami. Allah memberi hidayah kepada suami dan sekarang dia lebih baik daripada diriku. Dia menjadi dai yang ikhlas untuk agamanya. Begitulah aku kira-kira, dan aku tidak menyucikan seseorang di atas nama Allah.

Walapun sakit, musibah dan bencana yang menimpa kami, kami selalu gembira, selama musibah itu bersifat duniawi bukan dalam hal agama.

Sumber: FP Wanita Pilihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar