"Amal Aqabah"
Banyak ustadz kita menyitir QS al-Baqarah, {2}: 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Ayat ini populer dan nyaring di telinga kita. Tapi sepertinya belum akrab dengan alam nyatanya.
Nah, momentum pergantian tahun haruslah mendorong kita berusaha untuk lebih mendekati ayat tersebut dalam keseharian kita berikutnya. Waktu berlalu adalah waktu menuju kebaikan, waktu yang diadu cepat dengan amal kebaikan.
Yang namanya perlombaan itu berarti siapa lebih cepat. Jadi, siapa lebih cepat mengerjakan kebaikan, maka dia lebih baik dari manusia lainnya, dan karenanya pasti disukai Pemilik kebaikan, yaitu Allah subhaanahu wa ta'alaa.
Sebaliknya yang menunda-nunda dan lambat dalam mengerjakan kebaikan berarti tidak lebih baik dari yang lain dan pasti kurang disukai oleh-Nya.
Amal yang melambat dan tertunda dengan waktu lama dalam konteks percepatan kebaikan jelas keadaan yang tidak bijak.
Kita saja menganggap menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Maka tentu tidak berlebihan jika kita sebut keadaan beramal baik yang ditunda seharusnya menjadikan Allah pun bosan dan jemu dengan kita.
Tapi Allah adalah Zat yang dominan dengan rahmat-Nya bahkan kepada para pendosa dan pemaksiat kepada-Nya sekali pun, selalu berbalas rahmat ketimbang murka; sabaqat rahmati ‘ala ghadhabii.
Renungan lanjutan dari ayat di atas yakni ternyata kita perlu bergerak naik. Tidak hanya berjalan, tapi belajar untuk berjalan dengan mendaki.
Lawan dari mendaki adalah menurun. Kalau mendaki kita menuju puncak, maka menurun berarti menuju lembah atau jurang.
Bendera kemenangan selalau dikibarkan di puncak bukan di lembah apalagi di jurang. Karena itu, kita tidak hanya berlomba dalam amal, tapi belajar untuk adu sprint menuju puncak dengan cara mendaki.
Begitulah gambaran beramal dengan percepatan dan dengan proses pendakian. Kita sedang beramal dengan amal aqobah.
Amal pendakian sukar lagi sulit. Allah subhaanahu wa ta'alaa menegaskan, “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia menempuh jalan yang mendaki dan sukar (‘aqobah).''
''Tahukah kamu, apa itu amal mendaki dan sukar itu? Ya, itu adalah amal melepaskan ketertindasan. Tergerak berbagi makan pada hari terjadi kelaparan. (Utamanya) untuk anak-anak yatim yang berkerabat. Atau orang miskin yang sangat faqir. Kemudian bersegera menjadikan dirinya sebagai orang yang semakin beriman dengan saling mengingatkan kepada kesabaran dan berpesan untuk berkasih sayang. Itulah golongan kanan (yang mengibarkan kemenangan).” (QS al-Balad, {90}: 10-18). Wallahu A’lam.
Sumber: Republika, Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham
Banyak ustadz kita menyitir QS al-Baqarah, {2}: 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Ayat ini populer dan nyaring di telinga kita. Tapi sepertinya belum akrab dengan alam nyatanya.
Nah, momentum pergantian tahun haruslah mendorong kita berusaha untuk lebih mendekati ayat tersebut dalam keseharian kita berikutnya. Waktu berlalu adalah waktu menuju kebaikan, waktu yang diadu cepat dengan amal kebaikan.
Yang namanya perlombaan itu berarti siapa lebih cepat. Jadi, siapa lebih cepat mengerjakan kebaikan, maka dia lebih baik dari manusia lainnya, dan karenanya pasti disukai Pemilik kebaikan, yaitu Allah subhaanahu wa ta'alaa.
Sebaliknya yang menunda-nunda dan lambat dalam mengerjakan kebaikan berarti tidak lebih baik dari yang lain dan pasti kurang disukai oleh-Nya.
Amal yang melambat dan tertunda dengan waktu lama dalam konteks percepatan kebaikan jelas keadaan yang tidak bijak.
Kita saja menganggap menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Maka tentu tidak berlebihan jika kita sebut keadaan beramal baik yang ditunda seharusnya menjadikan Allah pun bosan dan jemu dengan kita.
Tapi Allah adalah Zat yang dominan dengan rahmat-Nya bahkan kepada para pendosa dan pemaksiat kepada-Nya sekali pun, selalu berbalas rahmat ketimbang murka; sabaqat rahmati ‘ala ghadhabii.
Renungan lanjutan dari ayat di atas yakni ternyata kita perlu bergerak naik. Tidak hanya berjalan, tapi belajar untuk berjalan dengan mendaki.
Lawan dari mendaki adalah menurun. Kalau mendaki kita menuju puncak, maka menurun berarti menuju lembah atau jurang.
Bendera kemenangan selalau dikibarkan di puncak bukan di lembah apalagi di jurang. Karena itu, kita tidak hanya berlomba dalam amal, tapi belajar untuk adu sprint menuju puncak dengan cara mendaki.
Begitulah gambaran beramal dengan percepatan dan dengan proses pendakian. Kita sedang beramal dengan amal aqobah.
Amal pendakian sukar lagi sulit. Allah subhaanahu wa ta'alaa menegaskan, “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia menempuh jalan yang mendaki dan sukar (‘aqobah).''
''Tahukah kamu, apa itu amal mendaki dan sukar itu? Ya, itu adalah amal melepaskan ketertindasan. Tergerak berbagi makan pada hari terjadi kelaparan. (Utamanya) untuk anak-anak yatim yang berkerabat. Atau orang miskin yang sangat faqir. Kemudian bersegera menjadikan dirinya sebagai orang yang semakin beriman dengan saling mengingatkan kepada kesabaran dan berpesan untuk berkasih sayang. Itulah golongan kanan (yang mengibarkan kemenangan).” (QS al-Balad, {90}: 10-18). Wallahu A’lam.
Sumber: Republika, Oleh: Ustaz HM Arifin Ilham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar